Itu bapak Budi. Dia seorang detektif kelontong. Sebagaimana pedagang kelontong, bapak Budi berkeliling memecahkan kasus sehari-hari. Budi kecil sempat bingung, mengapa memecahkan kasus saja bisa membuat ayahnya jarang sekali di rumah, kenapa ayahnya tidak membanting saja kasus-kasusnya itu.
Bapak Budi menangani banyak sekali kasus. Dari mulai hilangnya anak kucing, anak orang, hingga anak tangga. Pernah, masjid dekat rumah Budi meniadakan solat subuh berjamaah karena orang-orang tidak bisa naik ke atas masjid akibat hilangnya beberapa pijakan. Bapak Budi salah satu jemaahnya itu. Dengan air wudhu yang belum mengering, bapak Budi bisa menemukan pelakunya hanya dengan melihat jejak kaki dengan bercak semen. Ternyata dia adalah seorang kuli tukang bangunin yang kesulitan tidur.
Budi pernah minta tolong ayahnya agar mencarikan celengan ayam Ani yang hilang. Bapak Budi sudah setuju tapi Ani menolaknya. Besoknya, Budi ke pasar membeli tanah liat, paku, pasir, batu bata, genteng dan bahan-bahan bangunan lainnya. Ia juga membeli rumput dan bunga-bunga. Setelah terkumpul, Budi datangi Ani dan melamarnya dengan sekuntum bunga KPR.
Sejago-jago bapak Budi mencari orang hilang, dia tidak bisa menemukan kembali istrinya. Untuk urusan itu, bapak Budi mendatangi orang pintar. Menurut penerawangannya, istrinya, ibu Budi, ada di sebuah halaman. Bapak Budi mengetuk halaman sampul, masuk ke halaman pertama. Tiba-tiba ia teringat temannya, Yusuf, seorang tukang pos. Betapa hebatnya profesi kurir, di setiap buku pasti ada kata pengantar!
Setelah menyusuri halaman demi halaman, bapak Budi melihat ibu Budi sedang megap-megap di lautan ilmu. Ternyata, selama ini ia terjebak di buku pelajaran.