Karena Semua Akan Rusak Pada Waktunya

layar laptop rusak

Gue buat tulisan ini di laptop yang layarnya kedip-kedip. Entah gara-gara apa, layar laptop gue rusak begitu aja. Gak cuma kedip-kedip, di bagian pinggir kanan dan bawah pun udah dead pixel alias mati total. Kalau menurut artikel-artikel sih, penyebabnya adalah jatoh atau kena benturan. Nah, seinget gue, ni laptop kagak pernah jatoh atau kepentok apapun.

Gue juga nulis sambil mendengar suara pompa air yang seharusnya mati. Udah beberapa hari ini, pompa itu butuh waktu lama buat menuhin torent. Gue sempet nanya ke tukang pompa yang kebetulan lagi servis pompa rumah tetangga, katanya pipa di dalam tanahnya ngempos. Perlu digali dulu baru bisa dibenerin bocor alus di mata bornya. Denger estimasi biayanya bikin memble.

Dalam satu-dua minggu ini, banyak banget barang di rumah gue yang rusak. Selain laptop dan pompa, ada juga kulkas, mobil, dan yang baru aja kejadian: kacamata istri gue. Gue gak sengaja nindih kacamata itu. Gagangnya copot. Hehe.

Apa kamu mau tau juga kerusakan si kulkas dan si mobil? Gak usah deh ya. Pokoknya, cerita kerusakannya itu pasti bakal bikin kamu bilang, “Ya ampuun. Naas bener.”

Gue sempet kesel banget sama kerusakan-kerusakan ini. Susah nerimanya. Kok bisa sih semuanya rusak di waktu yang sama? Kenapa barang-barang tuh suka rusak? Apa barang-barang tuh diciptain emang untuk rusak?

Di titik itu, gue jadi keinget sama cerita di novel Norwegian Wood. Setelah Kizuki meninggal, Toru Watanabe (sahabatnya) sedih dan kesel banget. Kenapa sih, ada kematian? Kenapa harus sahahat gue?

Dalam renungannya itu, Toru Watanabe akhirnya nyimpulin, bahwa kematian itu bukan lawan dari kehidupan. Kematian adalah bagian dari kehidupan.

“Kematian sejak lama sudah terkandung dalam keberadaanku ini, dan kenyataan itu tidak dapat dihapuskan dari pikiran kita, betapa keras pun upaya kita. (…) Di dalam kehidupan, semuanya dan segalanya berputar mengitari kematian.”

Toru Watanabe – Norwegian Wood

Pemikiran Toru Watanabe itu ngebantu gue coba nerima kerusakan yang terjadi pada barang-barang di sekitar. Agak berlebihan sih ya sampe bawa-bawa pemikiran dari novel itu. Tapi gue ngerasa perlu karena gue udah sering banget ngadepin barang-barang yang rusak tiba-tiba. Gue merasa ungkapan Toru Watanabe itu ngewakilin rasa kesal sekaligus sedih akan kehilangan. Toru kehilangan keberadaan seorang sahabatnya. Gue kehilangan fungsi dari banyak barang esensial.

Gue sekarang pasang mindset bahwa setiap barang itu pasti akan rusak pada waktunya. Kerusakan bukan lawan dari kesempurnaan.

Di dalam dunia benda, semuanya dan segalanya berputar mengitari kerusakan.

Hilih~

Karena udah terbiasa ngadepin kerusakan, gue sama Rima juga udah bikin tabungan khusus. Setiap bulan kami cukup tertib nyisihin uang yang kami anggep bakal hilang di kemudian hari untuk bener-benerin barang yang mungkin pasti rusak.

Sebelum punya tabungan khusus itu, tiap kali ada barang rusak tuh bad mood-nya cukup parah. Karena gue juga mesti mengiklaskan uang buat kebutuhan sehari-hari atau kebutuhan lain.

Beberapa barang rusak yang gue ceritain di atas, bisa gue benerin lagi dalam waktu cepet, tanpa kesulitan yang berarti. Langsung bawa ke ahli servisnya tanpa mikir panjang, bayar, kelar!

Satu hal yang gue baru sadari adalah, semakin gue kita berumur, semakin banyak nih kerusakan barang yang gue hadepin. Tapi semakin sering gue ngadepin kerusakan, semakin gue tau gimana cara mengantisipasi dan menaganinya.

Kerusakan gak cuma bikin gue jadi lebih siaga, tapi juga nambah ilmu dari hal-hal yang menyebabkan kerusakan itu. Ilmunya ilmu siasat.  Jadi tau selanya.

Ah, gue jadi keinget salah satu lirik dari lagu Leonard Cohen

There is a crack, a crack in everything
That’s how the light gets in

Leonard Cohen – Anthem

Gue bakal bikin potongan lirik itu jadi kaos, terus gue bagi-bagiin ke tukang bangunan, tukang reparasi kulkas, dan montir bengkel. Ada yang mau buatin jadi mural di ruang penanganan garansi toko elektronik?

Ayolah, karena semua bakalan rusak pada waktunya.

ps.

Btw, coba googling kata kunci “Kintsugi”, deh. Itu salah satu falsafah hidup Jepang yang ngajarin kita seni memperbaiki kerusakan. Katanya, daripada meratapi keramik yang pecah, mending kita susun lagi aja, rekatin pake emas.

Tadinya gue mau masukin kintsugi di tulisan ini, tapi kayaknya bakal jadi kejauhan bahasannya. Kerusakan-kerusakan barang yang gue alamin, belum ada ‘nilai seni‘-nya. Apalagi di layar laptop gue yang rusak ini nih. Tapi siapa tau kamu nemuin di kerusakanmu.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: