Gue baru selesai baca Norwegian Wood. Dan bagi gue, novel ini berkesan banget. Gue rasa, efek samping dari novel ini bakalan lama. Apa yang terjadi pada tokoh-tokoh di novel begitu nempel di benak dan hati gue. Selama seminggu gue baca novel ini, gue jadi suka melamun dan mellow karena mengingat-ingat cerita Toru Watanabe, Naoko, Midori, dkk.
Selama baca, rasanya kayak ada lubang besar di kepala, di mata gue kayak ada pohon menggelayut, dan perasaan gue jadi lembek, gampang hanyut. Gue ngerasa perlu untuk nulis ulasan ini biar after-taste-nya gak cuma mandek berkutat di kepala dan bikin gue uring-uringan.
Gue baca-bacain juga tuh review orang-orang tentang novel ini di internet dan di YouTube biar gue gak ngerasa sendirian terdampak Norwegian Wood. Kita-kita yang udah baca sepertinya perlu bikin support group biar gak terjerumus pada kenelangsaan, dan menjadi orang-orang yang Naoko sebut sebagai orang miring.
Singkatnya, novel ini cerita tentang Toru Watanabe yang teringat masa remajanya. Sahabatnya meninggal bunuh diri. Toru lalu dekat dengan Naoko kekasih sahabatnya itu. Naoko depresi cukup parah, tapi Toru tetap senang berada di dekatnya. Di tengah jalan, Toru ketemu sama gadis manis dan unik bernama Midori.
Gue rasa, salah satu alasan kenapa novel ini berkesan banget untuk gue adalah karena setahun belakangan lagi sering menghadapi kematian. Kematian sering banget dateng di sekitar gue. Bokap mertua gue meninggal tahun lalu karena Covid dan selama masa perawatannya di RS, gue sering melihat orang sekarat lalu meninggal di UGD. Di rumah pun, jumlah kucing kampung peliharaan nyokap yang meninggal cukup banyak. Gue selalu nguburin. Beberapa temen deket gue pun kehilangan orang tuanya setahun belakangan. Dan dalam sebulan ini aja, gue dapet 2 kabar duka yang begitu mendadak. Salah satunya adalah tetangga sebelah rumah gue. Sore hari sebelum sebelum meninggal, dia masih terlihat segar. Gue sempet ngobrol di depan rumahnya. Besok subuhnya, dia udah gak ada. Gue sangat bersimpati tiap kali mikirin perasaan ketiga anak yang ditinggalkannya.
Norwegian Wood bisa ngebahasain campur aduknya perasaan gue selama ngehadepin kematian-kematian itu. Sepanjang cerita Norwegian Wood, senggaknya ada empat cerita kematian yang sangat berdampak lama pada tokoh-tokohnya. Tiga di antaranya bunuh diri.
Kizuki bunuh diri sekonyong-konyong. Toru dan Naoko kaget dan sedih berkepanjangan. Melalui suara dan pikiran Toru Watanabe, Naoko, serta Reiko-San, Haruki Murakami ngebahas kematian dan duka dengan detail dan mendalam.
Toru adalah tipikal remaja lempeng dan datar. Gue ngerasain sedihnya, tapi dia terlihat bisa mengatasinya. Toru pernah bilang,
Kematian itu bukan lawan dari kehidupan. Kematian adalah sebagian dari kehidupan.
Kayaknya, kesimpulan itu yang jadi landasan Toru untuk melanjutkan hidup sepeninggal Kizuki. Toru menghanyutkan diri pada novel-novel dan perempuan. Narasi juga bergerak dari adegan seks yang satu ke adegan seks berikutnya. Toru jadi hobi tidur sama perempuan yang dia temui di bar. Ia juga melalukannya bersama Naoko. Sempat juga merancap bareng Midori. Novel juga ditutup dengan adegan panas, dan janggal, dan agak getir antara Toru dan Reiko-San. (Maaf gak bisa nahan diri buat kasih spoiler)
Gue jadi bertanya-tanya, apa makna seks pada cerita duka ini? Cerita Toru seperti pendulum yang gerak dari cerita duka lalu berayun ke kenikmatan seks. Di beberapa adegan, seks menjadi bentuk pernyataan keintiman atau kepercayaan (antara Midori dan Toru atau Kizuki, misalnya. Atau antara Toru dan Midori). Tapi, ada juga yang terasa sebagai pelarian aja. Hmm. Jangan-jangan seks di sini adalah metafora, lawan dari duka atau kematian. Seks, kan kegiatan mencapai kenikmatan sekaligus awal dari kehidupan (reproduksi).
Naoko beda dengan Toru. Naoko bener-bener hanyut dalam depresi dan duka karena kematian. Sampai-sampai dia harus ngebawa dirinya ke tempat semacam rumah sakit jiwa. Kizuki bukan satu-satunya orang terdekat Naoko yang bunuh diri. Kakaknya Naoko pun milih gantung diri saat ia masih remaja. Hari-hari Naoko adalah tentang bertahan hidup di duka yang rimbun.
Gue rasa, resolusi dari konflik psikologis Toru adalah kedekatannya dengan Midori. Midori adalah gadis yang sama-sama melankokis juga, tapi dia tau gimana caranya menjalani hidup dengan riang. Kepribadiannya unik, pikiran-pikirannya absurd dan lucu. Ketika bersama Midori, Toru jadi cowok yang manis dan lucu juga. Selama ngebaca kisah romantis Toru dan Midori gue sering senyum-senyum sendiri.
Gue juga suka banget obrolan Toru dan Midori. Dalam absurditas dan keluguannya, ada celotehan yang bisa kita jadikan falsafah. Di deket-deket akhir cerita, Midori nyampein sesuatu yang jadi penawar segala kegamangan hidup Toru dalam menghadapi nestapa. Nuansa kalimat Midori itu pun cukup ringan, menyenangkan dan tetep filosofis. Begini katanya:
“Kau anggap saja kehidupan ini sebagai kaleng biskuit.
“Di dalam kaleng biskuit itu ada bermacam-macam biskuit, ada yang kamu sukai ada pula yang tak kamu suka. Dan kalau terus memakan yang kamu suka, yang tersisa hanya yang tidak kamu suka. Setiap mengalami sesuatu yang menyedihkan aku selalu berpikir seperti itu. Kalau yang ini sudah kulewati, nanti akan datang yang menyenangkan, begitu. Karena hidup ini seperti kaleng biskuit.”
Kalo ada waktu luang, coba deh baca novel yang sering disebut-sebut The Catcher in The Rye-nya Asia (dan gue setuju) ini. Tapi, pastikan kondisi mentalmu sedang prima, ya!
Btw, Norwegian Wood adalah novel Haruki Murakami pertama yang gue baca. Gak ada kata terlambat kan? Hehe. Setelah ini, asiknya baca bukunya yang mana lagi yah? Nyanyian Angin, atau Men Without Women dulu ya?
Tinggalkan Balasan