Gue nonton film serial Maid dalam tiga malam (gak berurutan), sepanjang hari-harinya, sampai sekarang pun, gue masih suka kepikiran sama nasib Alex dan anaknya, tokoh utama dalam film.
Bagi sebagian banyak penonton, mungkin pesan utama film ini adalah tentang penyintas kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Tapi gue sendiri, merasa lebih nempel sama tema working parent. Gue merasa nyambung banget sama keresahan yang gue rasakan sehari-hari sebagai pekerja anak satu.
Dalam film ini, Alex pontang-panting bagi waktu antara menjaga Maddy, anaknya, kerja sebagai tukang bersih-bersih rumah (persis kayak GoClean, tapi ternyata di sana bayarannya tinggi banget. 12 dolar per jam), ngurusin masalah sidang pembagian hak asuh, dan menjaga ibunya yang nasibnya juga cukup kacau.
Sebelum berangkat kerja, Alex sering kali harus ke sana ke mari untuk mencari orang yang bisa titipkan Maddy. Sebenarnya dia punya banyak pilihan, tapi selalu aja ada resiko yang dia hadapi setiap mencoba pilihan-pilihan tersebut.

Pemerintah sono menyediakan day care gratis untuk ibu tunggal penyintas KDRT, tapi pelayanannya kurang bagus. Alex juga sempat nitipin Maddy ke nyokapnya dan ke bokapnya yang udah punya keluarga baru tapi itu masih harus membuat Alex mangkir dari kerjaan di beberapa hari karena ada aja masalah.
Gue jadi ngerasain banget perjuangan working parent kayak Alex. Dan tantangan itu pun gue hadapi sehari-hari. Tentu, pontang-pantingnya gue masih belum seberapa dibanding yang dirasakan Rima. Rania nempel banget sama ibunya. Selama work from home ini, Rima sering banget harus meeting sambil nyusuin dan harus mengatur ulang jadwal biar bisa megang Rania.
Tapi nanti ketika udah harus ngantor, pasti bakal ngerasain juga pontang-pantingnya. Gimana nanti kalo pas udah ngantor, nyokap gue kewalahan jaga Rania di rumah. Gimana kalo Rania gak betah di day care. Gimana kalo nanti gue gak bisa pulang cepet dari kantor sementara waktu jaga day care udah mau abis.
Dilemanya menjadi Alex, menjadi working parent, jadi menggaung-gaung di pikiran gue: Gue gak mungkin kehilangan pekerjaan, tapi juga gak pengen ‘berjarak’ dengan anak.

Satu lagi efek film ini adalah gue jadi berempati sama working parent yang keadaan ekonominya kekurangan. Alex kabur dari rumah dengan uang yang pas-pasan banget. Dia gak punya tabungan sama sekali. Penghasilan harian yang ia terima dari bebersih bisa langsung habis untuk kebutuhan hari itu. Seberuntung-beruntungnya dia dapet kontrakan dan kontrakan bersubsidi, tetep aja ada tagihan datang yang meresahkan.
Gue jadi mikir, pantes aja di luar sana ada banyak pekerja jalanan yang bawa anaknya untuk nyari duit. Gue, mungkin juga kamu, seringkali tergiring opini publik bahwa mereka mengeksploitasi anak. Setelah nonton Maid, gue melihat kemungkinan lain yang lebih valid: para pekerja jalanan itu, ngebawa anak karena gak tau harus menitipkannya ke mana.

Di akhir film, Alex menyampaikan ceritanya di support group penyintas KDRT tentang hari bahagianya yang akan datang. Tentang keberhasilannya pindah kota dan melanjutkan kuliah yang ia dapet dari beasiswa. Ceritanya puitis banget. Gue sarikan di sini sekalian untuk menutup tulisan.
“Hari bahagiaku belum terjadi. Tapi sebentar lagi. Pada hari itu, aku akan pergi naik mobilku. Membawa barang-barang dan anakku yang luar biasa. Aku akan pergi dari kota ini. Ke Missoula, Montana. Tempat aku akan menghabiskan waktu empat tahun untuk kuliah.
Banyak orang yang meragukan ibu tunggal yang kuliah, tapi mereka gak tau apa yan aku lalui. Membersihkan 338 toilet. Mengusahakan 7 jenis bantuan pemerintah. 9 kali pindah rumah. Bermalam di pelabuhan. Menghabiskan tahun ketiga anakku, pontang-panting.
Setibanya aku di Misoula, aku akan membawa Maddy ke gunung Sentinel yang menghadap kota, aku akan menunjukkannya rumah baru kami.
Seluruh dunia baru ini untuknya.”
Hidup, barangkali, akan pelik atau sangat pelik bagi kita. Tapi semoga kita selalu menggenggam asa untuk mengusahakan hari-hari bahagia dan dunia baru untuk anak-anak kita. 🙂
Tinggalkan Balasan