Ulasan Novel "Tahun Penuh Gulma": Pelajaran Melawan dari Tukang Kebun

Gulma tak pernah menjadi kabar baik untuk kebun. 

Novel India ini bercerita tentang dua remaja 14 tahun yang jadi aktor penting protes suku Gondi terhadap rencana pemerintah membuka penambangan di hutan sakral. Gue membaca buku ini saat harus bulak-balik rumah sakit. Sedikit-banyak, gue mengaitkan cerita perlawanan di buku dengan perjuangan menghadapi pandemi yang gue hadapi di depan mata ini.

Dua remaja itu adalah Korok dan Anchita. Korok adalah tukang kebun ulung. Anchita adalah anak dari pemilik kebun yang dirawat Korok.

Perlawanan bermula ketika Korok dan Anchita bertemu dengan sekelompok orang berseragam datang ke desa untuk meninjau lokasi dan memasang papan pengumuman “Tanah Ini Milik Pemerintah Odisha.”

Pemerintah, kata seorang surveyor kepada Anchita dan Korok, akan menyerahkan perbukitan desa Dogeon kepada perusahaan tambang multinasional. Pemerintah sudah punya rencana matang. Warga desa akan dipindahkan (baca: digusur), lalu alat-alat besar dan canggih akan didatangkan, pertambangan dibangun. Mereka bilang, pertambangan bauksit itu kelak akan mengembangkan ekonomi warga. Semua akan senang.

Tapi Korok dan Anchita, begitu juga semua suku Gondi lebih senang jika mereka bisa tetap hidup di tanah kelahiran bersampingan dengan bukit keramat mereka tanpa diusik. Mereka pun beraksi demi mempertahankan tempat tinggal sekaligus tanah leluhur suku Gondi.

Gerakan perlawanan orang-orang kecil tentu akan banyak bagian yang  menyusahkan mereka sendiri. Tapi, api tetaplah api. Sekecil apapun ia menyala pada mulanya, akan berkobar juga ketika menemukan pemantiknya.

Polisi sempat menggebuki mereka dengan lathi karena menghalangi jalan para surveyor saat mau meninjau lokasi. Selama musim kering, mereka sengaja tak dikirimi bantuan oleh pemerintah. Petinggi-petinggi suku Gondi pun sempat dijebloskan di penjara atas tuduhan yang dikarang-karang polisi setempat.

Suku Gondi sempat merasa kalah dan mentok gak punya strategi lagi sampai datang ide gemilang dari Korok yang ia dapat saat membasmi gulma yang bermunculan di antara petak-petak bunga kesayangannya.

Apa ide gemilang tersebut tentu sebaiknya gue rahasiakan demi menjaga kejutan buku ini. Yang jelas, keren deh! hehe.

Usai membaca novel ini, gue membaca wawancara dengan sang penulis. Ia cerita kalau ia sengaja memilih profesi tukang kebun karena cocok untuk jadi metafora perjuangan mempertahankan tempat tinggal. Dibandingkan dengan petani, tukang kebun punya hubungan lebih erat dengan tanah dan tanaman yang ia rawat. Di novel, Korok dikisahkan sebagai tukang kebun yang ulung. Korok tahu betul macam-macam tanaman, tak terkecuali tanaman obat. Ia tahu seluk-beluk perawatan tanaman. Jari-jarinya mengalirkan cinta setiap ia mengeruk tanah, memotong daun yang sakit, menyirami seluruh kebun, dan tak terkecuali membasmi gulma yang berusaha menghancurkan kebunnya.

Gulma dalam cerita ini adalah kekuasaan: Bisnis. Politik. Hukum. ‘Mesin-mesin’ ciptaan manusia yang Korok baru tahu kalau itu bisa diciptakan untuk kebaikan manusia sekaligus bisa melibas kemanusiaan juga.

Gue juga suka dengan pertemanan antara Anchita dan Korok. Mereka beda dunia. Anchita anak kota dan tajir. Sementara Korok gak sekolah dan miskin. Keduanya cerdas dan progresif dengan caranya masing-masing.

Anchita mendukung Korok untuk melakukan protes. Ia membuka wawasan Korok tentang dunia dengan akses informasi yang ia punya. Ia membacakan berita-berita di internet mengenai rencana penggusuran tersebut lewat kompitar-nya. Ia juga mengajak Korok menonton berbagi film, sekalian mengajarkannya bahasa Inggris. Tak terkecuali film Avatar yang ceritanya mirip dengan situasi di desa Dogeon.

Wah, kalau dilihat porsi gue cerita tentang Anchita lebih banyak nih daripada Korok. Gak bisa ditutupi kalau gue suka sama penokohoan Anchita. Dalam wawancaranya, sang penulis bercerita kalau dia menghabiskan lebih banyak waktu untuk membangun karakter Anchita daripada Korok.

Bagian cerita Anchita yang paling gue suka adalah saat presentasi di kelas Sosial. Dengan sketsa yang ia buat sendiri (Anchita punya bakat seniman), ia menceritakan ketidakadilan yang dialami suku Gondi kepada teman-temannya sesama kelas menengah atas yang tinggal bersebelahan dengan desa Dogeon. Karena terlalu berapi-api, presentasi itu berujung pada pemanggilan ayah Anchita ke sekolah dan Anchita pun diskors satu minggu.

Dalam perjalanan pulang dari sekolah, Anchita dan ayahnya ngobrol panjang. Anchita menyuarakan kekesalannya dan ayahnya memberikan nasihat bijak–dan manis tentunya– yang bikin gue berharap bisa menjadi ayah seperti itu pula untuk Rania kelak. Ayahnya gak memadamkan api perlawanan Anchita. Ia bangga anaknya inklusif bahkan ikut membela kaum marjinal. Namun, maju dengan api yang tak terkendali hanya akan meluluhlantakkan diri kita sendiri.

“Kamu harus memilih pertempuranmu. Teriak-teriak hanya akan membuatkmu kelelahan,” kata ayahnya pada Anchita. Manissss

Mari kembali ke paragraf pertama tulisan ini. Gue membaca buku ini saat bokap (mertua) gue berjuang melawan Covid-19 di rumah sakit. Gue sempet membawa buku ini saat harus mengunjunginya ke rumah sakit dan mengurus hal-hal administrasinya. Virus ini berhasil menyiksa kami sekeluarga. Hari-hari damai dan ceria jadi terisi dengan kecemasan,  ketegangan dan juga kemarahan.

Membaca buku ini bikin gue makin mantap untuk menganggap bahwa segala petaka dan seluruh duka yang harus kita alami setahun ini bukan disebabkan oleh pandemi, melainkan oleh gulma yang makin hari makin tumbuh besar. Semakin sulit dibasmi. Gue dan Korok menghadapi gulma yang sama: ketidakbecusan negara.

Gulma tak pernah menjadi kabar baik untuk kebun. 

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: