Cara Bayi Melepas Duka

Akang, keponakan saya yang berusia dua tahun, ikut saya dan ibunya mengantar kakek-neneknya ke bandara pagi tadi. Ia senang betul ketika tiba di bandara. Melihat troli pengangkut koper, ia menolak diangkat didudukkan  di sana.

Akang mau ikut mendorong troli. Di bandara Soetta terminal 3 yang megah nan nyaman itu, Akang juga berlari-larian, apalagi ketika melihat ada taman kecil di tengah-tengah. Neneknya ikut girang melihat Akang yang aktif dan periang itu. Beberapa kali ia mengeluarkan ponsel lalu memfoto akang dan aksinya.

Hingga jam penunjukkan pukul 08.00.  Satu jam sebelum mamah-papah saya itu harus masuk ke ruang tunggu pesawat. Mamah sudah tahu betul bahwa Akang akan menangis begitu pisah. Akang memang lengket banget sama mamah. Mamah jago mengajak bicara akang, suka menggendongnya dan mengajak main.

Biar nggak terlalu bersedih saat ditinggalkan, mamah bersiasat, ia bilang ke akang bahwa di lantai bawah ada perosotan, wahana permainan favorit Akang. Benar saja, Akang girang bukan main. “Ayo kita ke pocotan,” kata Akang berkali-kali.

“Yaudah, yuk. Akang salam dulu sama enin, sama engkin,” ibunya mengisaratkan bahwa kakek-nenek akang akan pergi. Akang yang sudah terlalu girang dengan perosotan menurut saja.

“Daah, Enin,” kata Akang.

Saya, Akang dan ibunya meninggalkan mamah-papah, dan menuju lantai dasar tempat perosotan itu kami anggap ada.

“Pak, taman bermainnya di sebelah mana yah?” kata kakak saya.

“Wah, adanya di ruang tunggu pesawat. Mesti pakai tiket untuk bisa masuk,” jawab petugas keamanan yang kami tanyai.

Saya dan kakak saya menyimpan kepanikan. Kekecewaan Akang akan bertambah, pasalnya.

Sepanjang jalan, akang masih mengira bahwa yang ia tuju adalah taman bermain. Padahal saya dan kakak, menuju ke parkir mobil. Kami akan pulang.

Benar saja, begitu pintu mobil dibuka dan Akang diajak masuk, ia menangis kencang. Barangkali ia baru sadar ia dikecewakan. Dan yang ia tangisi bukan perosotan ternyata, melainkan kepergian kakek-neneknya.

“Enin mana? Akang mau ke enin,” katanya berulang kali sambil memberontak sana-sini melepas dekapan ibunya, “Akang mau turun aja. Mau ke Enin.”

Sementara saya terus melajukan mobil.

“Dia emang selalu begini ya tiap kali ditinggal pergi sama mamah-papah?” tanya saya pada kakak.

“Huu. Selalu nangis, Ki.”

Akang baru saja berumur dua tahun November lalu. Bagaimana bisa anak sekecil itu merasakan betul sedihnya perpisahan?

Saya menelusuri jawabannya. Bayi, menurut kajian psikologi, bisa merasakan yang namanya kecamasan karena perpisahan (separation anxiety). Sebelum 8 delapan bulan, bayi memang tak akan mengenali ibu dan menyadari keberadaannya. Hingga setelahnya, ia akan bisa merasakan beda sentuhan ibunya dan orang lain serta mulai mengenali suara ibunya.

Bayi kemudian bisa nempel dengan orang-orang lain yang ada di sekitar selain ibunya. Dalam kasus Akang ini, orang itu adalah kakek-neneknya. Adalah wajar ketika bayi rewel ketika ditinggal. Apalagi bayi belum mengenal konsep waktu. Ia tak tahu jika orang yang meninggalkannya itu akan kembali. Yang ia tahu, ia ditinggalkan. Titik.

Nyatanya, Anxiety separation juga bisa terjadi di orang dewasa. Bedanya, mesti ada label disorder di akhirnya. Vijaya Mancavasagar dari Psychiatry Research and Teaching Unit, Liverpoll Hospital menuliskan bahwa Adult Separation Anxiety Disorder itu:

[A]dults may experience: wide-ranging separation anxiety symptoms, such as extreme anxiety and fear, when separated from major attachment figures; avoidance of being alone; and fears that harm will befall those close to them. … Separation anxiety disorder may be a neglected diagnosis in adulthood.

Sepanjang Akang menangis saya juga mengaitkannya dengan apa yang dibilang oleh Sigmund Freud. Menurut bapak psikoanalisis itu, dalam menghadapi kehilangan atau perpisahan, ada dua macam reaksi yang akan mungkin kita alami terhadap subjek yang hilang tersebut: duka dan melankolia.

Keduanya sama-sama perasaan sedih. Bedanya, orang-orang yang berduka akan berdamai dengan rasa kehilangannya itu. (Wah, saya teringat puisi Sapardi yang DukaMu Abadi.) Sementara orang melankolia memeliharanya di dalam ego mereka. Diri para pencandu melankolia pun jadi terbelah dua, diri mereka yang sebenernya dan diri mereka yang terpengaruh oleh orang yang meninggalkannya itu. Para melankolis juga kerap menyalahkan dirinya sendiri dan mengasingkan diri.

Yang Akang alami adalah duka. Ia kejer sekali menangis sampai-sampai saya pesimis kami bisa pulang tenang.

Tapi nyatanya, tak sampai dua puluh menit, tangisannya mereda. Bahkan, walau airmata masih berleleran di mukanya, ia sudah mau diajak menyebut jenis-jenis kendaraan yang kami lewati. “Itu traktor, itu bekho, kalau yang itu apa, Bunda?” katanya.

Betapa oh betapa, bayi bisa punya kekuatan super ternyata: mudah berduka, tapi bisa lekas melepas.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: