Di kota kecil pulau Buton Sulawesi Tenggara yang terkenal potensi lautnya, ada 94 siswa yang giat belajar demi mengembangkan hasil tanah. Cerita perjuangan mereka adalah lahan segar tempat memanen inspirasi.
“Orang sini, tuh, kalo nggak makan ikan aneh rasanya,” cerita Hendra, pegawai muda dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga kota Baubau sewaktu makan siang. Saya cuma angguk-angguk kepala. Di depan saya, laut membiru bikin mata lega dan adem pas ngelihatnya. Kami sudah siap menyantap ikan laut di sebuah rumah makan, yang letaknya dekat Pelabuhan Murhum, titik ekonomi pulau di bibir samudera ini.
Hari berganti. Kejadiannya agak mirip dengan cerita tadi. Saya lagi bareng bersama Muhammad Hamzah. Biar gampang panggil aja dia Anca. Dia bersekolah di SMK Negeri 4 Baubau dan tercatat sebagai salah satu penghuni kelas XI. Sepulang Anca sekolah, kami berjalan kaki. Tujuannya, cari tempat makan siang.
“Tiada hari tanpa ikan di sini,” katanya sambil menyuap sop sodara. “Di rumah pun, tiap hari aku makan ikan.” Mumpung dapat traktiran, Anca pilih sop yang menyajikan daging. Ikan tak jadi pilihannya. Saya? “So pasti ikang.” Gimana mau nolak, aroma ikan bakar di deretan meja sebelah amat menggoda selera makan saya.
Ikan dan laut emang sudah jadi keseharian warga Baubau. Selamat datang di kota kecil yang ada di pinggir Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Sejak masa kerajaan Buton (Wolio) Berjaya, laut sudah pegang peran penting. Kota ini emang nyaris dikelilingi laut. Pulau kecil di sekitarnya jadi pagar alami buat menahan gelombang samudra. Sekarang, ekonomi tempat ini makin maju, gegara pesawat baling-baling bolak-balik angkut penumpang dan barang.
Ada di dekat garis katulistiwa bikin Buton gerah. Sang matahari kayak ngajak teman-temannya waktu nongol. Mau nggak mau, Baubau ikut terik. Apalagi ini kota yang terbuka, kayak di pantai, sinar matahari nggak perlu repot-repot menembus daun-daun dari pohon besar yang memayungi jalanan untuk bisa menyentuh kulit kita.
“Jakarta sepanas ini nggak, Kak?” tanya Anca waktu temani saya menyusuri pantai Kamali selepas makan.
“Di sini panas banget. Bisa dua kali lipatnya, Ca!”
“Wah, ini belum apa-apa, Kak. Orang-orang sini emang udah biasa panas-panasan. Lihat aja, tuh, matahari seterik ini banyak orang keliaran di luar.”

Tapi, seperti air tuba yang dibalas dengan air susu, silaunya matahari di sini berbilas birunya laut yang mengelilingi. Panasnya kota jadi bisa terabaikan ketika kita melihat pemandangan alam yang selalu tersaji. Sementara orang di kota-kota lain cuma bisa ngejadiin ungkapan “ke laut aja, lu” sebagai becandaan, di sini kita bisa ke laut kapan pun kita mau. Soalnya, laut itu nggak jauh. Beda dengan Jakarta, di sini cukup dengan bayar ojek atau bentor Rp 5.000 – Rp 20.000, kita sudah bisa sampai di pantai.
Ngomongin laut di Baubau nggak bakal ada habisnya. Pemerintah kota pun juga mengutamakan potensi lautnya. Baubau, bahkan dengan lugas didefinisikan sebagai “Kota dengan benteng terluas di dunia dan investasi kelautan yang bernilai tinggi” di situs web resmi kota ini. Selain sektor wisata, potensi kelautan yang dikedepankan. Pelajar kayak Anca juga jadi salah satu pembuktiannya.
Di sekolah Anca yang terletak di Pulau Makassar (pulau, lho, yah. Bukan kota), pulau kecil nggak jauh dari pulau utama Buton, ada tiga jurusan yang fokus di kelautan: Jurusan Nautika Kapal Niaga, jurusan Nautika Kapal Penangkap Ikan, dan jurusan Budidaya Perikanan. Sedari muda, warga Baubau dibina untuk bisa unggul di laut, entah itu sebagai pelayar, awak kapal, nelayan, atau peternak ikan. Laut memang pegang peran penting dalam memutar ekonomi Baubau, bahkan Buton dan sekitarnya.
Ikan nggak bisa hidup tanpa air, sama kayak (kebanyakan) orang Indonesia yang sulit makan kalau belum bertemu nasi. Baubau boleh kaya akan ikan, tapi bagaimana dengan pertanian dan perkebunannya? Dari mana asal nasi, sambal, serta lalap yang harus menemani santapan ikan sehari-hari dalam kota berteman laut ini? Saya tergerak menelurusinya dalam sebuah perjalanan bareng tim Pusat Data Statistik dan Informasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang bertujuan mendata sekolah di pelosok Indonesia.
Nyatanya, untuk urusan hasil tani dan kebun, pemerintah kota juga memercayakannya kepada remaja kayak kita. Pada 2010, muncul inisiatif dari pemerintah provinsi untuk mendirikan dua sekolah kejuruan: tambang dan pertanian. Namun, karena di Baubau potensi pertambangan dinilai kurang, pemerintah dirikan sekolah pertanian. Pada 2011, SMK Negeri 5 Baubau atau yang lebih dikenal dengan SMK Pertanian Baubau pun mulai menerima siswa untuk belajar bercocok tanam di lahan belajar seluas 4 hektar. Sekolah ini ada di kawasan Sorawolio, kecamatan yang jadi fokus pengembangan pertanian, selain di kecamatan Bungi.
“Sekolah ini didirikan oleh pemerintah karena di daerah tersebut (Sorawolio) adalah daerah dengan potensi pertanian yang bagus. Diharapkan para siswanya bisa memberikan pengajaran kepada rakyat sekitar, sehingga bisa mengembangkan pertanian di sana,” kata Silasa, Kepala divisi Pengembangan SMA Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga kota Baubau kepada saya. Misi besar sekolah: swasembada pangan Baubau, yang sejalan dengan salah satu nawacita Presiden Jokowi.
Bertepatan dengan itu, pemerintah Korea Selatan menjalin kerja sama dengan Baubau. Sektor pertanian Baubau pun didukung. Sekolah ini tentu kena limpahannya: sejumlah buku pertanian dihibahkan oleh orang Korea. Beberapa guru pergi ke negeri Gangnam Style buat belajar sistem pendidikan dan pertanian.
Setelah dapat fakta itu saya masih penasaran, mainlah ke SMK Negeri 5. Dari pusat kota, saya melewati jalan aspal sejauh 30 kilometer ke wilayah utara. Sekolah ini terletak agak jauh dari jalan raya utama, kita harus melewati dulu jalan satu jalur mirip gang, tapi ini di daerah penuh pohon.
Begitu tiba, saya heran. Mengapa ada pelajar yang berkerumun di bawah pohon nggak jauh dari lahan jagung? “Kok mereka nggak ada di dalam kelas, padahal saat ini jadwal pelajaran lho?” Saya membatin.
“Kalau sudah kelas XII kami sudah tidak banyak belajar di kelas, kami praktek mengolah lahan,” cerita Sahril, salah seorang siswa jawab pertanyaan saya.


Sahril mendapat tugas menanam tomat. Lahan yang cukup luas sudah disediakan sekolah untuk Sahril bercocok tanam. Sahril bertanggung jawab terhadap kesuksesan panen lahan tomatnya itu nanti. Karenanya, ia memelihara betul tomatnya. Sejak tahap penyemaian di rumah kaca sederhana selama kurang lebih dua minggu, hingga ketika bibit siap dipindahkan ke bedeng. Dalam waktu 65 hari, Sahril harus memastikan tomat berbuah.
Kebijakan fullday school yang diterbitkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy ternyata nggak bikin heran Kepala Sekolah La Jaman dan warga sekolah. Demi merawat buah serta sayur yang ditanam, para siswa rela berada di sekolah seharian. Bahkan, ada yang sampai menginap.
Hal itu dilakukan karena waktu penyiramaan tanaman itu sehari dua kali. Udah gitu, waktu terbaiknya: pukul 06.00 dan 17.00. Jadi, pada waktu tadi pelajar mesti ada di sekolah.
Sementara menginap dilakukan oleh lima cowok kelas XII. Sebuah ruang laboratorium sekolah dijadikan tempat istirahat. Tikar dan bantal jadi modalnya. Indekost di tempat belajar jadi pilihan, biar gampang jaga jadwal penyiraman dan melindungi tanaman dari hama babi. Maklum, sekolah belum punya dana cukup membangun pagar.
Asiknya sekolah di sini adalah siswa bisa dapatkan untung dari lahan garapannya. Tiap kali panen, pemborong sayur dan buah dari kota akan didatangkan untuk membeli hasil panennya. Hasil penjualannya dibagi dua dengan pihak sekolah.
“Murid dapat 60%, sekolah dapat 40%,” cerita Wina Aswardap yang saat kelas XI udah pernah untung ratusan ribu dari hasil panen buncis, kacang panjang, dan jenis sayur lainnya. Dia menanam bersama temanteman seangkatan.
Ya, dengan kemampuannya itu, para siswa diarahkan untuk menjadi pengusaha pertanian dan perkebunan, senggaknya dalam lingkup Baubau. Terbukti, banyak siswa yang mantap bercita-cita. Bahkan, sudah ada yang mulai mengolah lahan dan mendorong keluarga untuk ikut belajar mengembangkannya.
Sahril contohnya. Bersama ibunya, ia menanam tomat dan sayur-sayur lain di lahan tak jauh dari rumahnya. Begitu juga Andis, yang menanam wortel bersama ibunya. Kepada orangtuanya, mereka mengajarkan cara bercocok tanam yang baik dan benar. “Saat aku di sekolah, ibuku dibantu adik yang masih SD. Saat aku bisa pulang, maka aku membantunya,” cerita Sahril.
La Jaman antusias sekali menyambut saya. Belum ada dua menit kami duduk bersama, ia sudah bercerocos cerita tentang sekolah asuhannya itu. Di cerita sang kepala sekolah pertama ini yang mengebu-gebu, ada nada haru yang saya tangkap.
“Sekolah ini memang luas, tapi muridnya sedikit. Hanya 94. Pertanian, kan, masih dilihat sebelah mata. Udah gitu, kebayakan orang sini tahunya cuma makan (hasil kebun) saja. Mereka pernah makan stroberi, tapi nggak pernah lihat pohon stroberi. Semangka didatangkan dari Makassar, Wortel didatangkan dari Jawa. Baubau masih jauh dari swasembada pangan,” papar Jaman.
Nyatanya, keseruan belajar serta keuntungan hasil panen sekolah ini dicapai Jaman dan murid-muridnya dengan harus berstrategi untuk berhemat kebutuhan lahan dan mengakali sumber daya yang seadanya. Misi besar pemerintah ternyata nggak sebanding dengan besarnya bantuan untuk sekolah.

Dana dari bantuan operasional sekolah (BOS) yang diterima sekolah ini Rp 140 juta tiap tahunnya. Tiap siswa bersekolah tanpa iuran SPP, hanya dipungut iuran komite sebesar Rp 300.000 per tahun. Dari dana itu, jaman selalu dibuat ketar-ketir. Pasalnya, anggaran jauh dari cukup.
“Harga pupuk saja satu gulung bisa Rp 670.000 dan itu perlu dikali dengan jumlah siswa yang ada. Belum lagi untuk ujian praktek, uji kompetensi. Belum lagi jika harus ada kunjungan keluar kota dan harus ikut pramuka. Siswa sekolahnya gratis, sekolahnya Itu baru fasilitas berupa bangunan, untuk materi di kelas pun siswa sangat berkekurangan. Utamanya adalah guru.
Yang bikin ironis, Jaman cerita kalau tak banyak guru yang menguasai ilmu tani. Begitu pun dirinya, sebelum di sekolah ini, Jaman adalah guru di SMAN 6 Baubau mengajar di jurusan IPS.
Untuk mengakalinya, Jaman merekrut insinyur pertanian yang ia tahu untuk jadi tenaga pengajar. “Mereka ahli tani tapi nggak punya surat izin mengajar. Tapi dipaksakan, upah diusahakan, yang penting mengabdi, toh. Saya hanya berikan SK.” Selain itu, walau sudah disumbang oleh pemerintahan Korea, namun jumlah buku yang ada di sekolah ini jauh dari cukup.
Pangan tuh kebutuhan primer kita, bro. Sumber pangan mesti dikembangkan dan dilestarikan. Setuju dong? Teman-teman kita di SMKN 5 Baubau bisa menjadi contoh baik.Dalam keterbatasan, mereka masih gigih belajar dan bercita-cita mengabdi mengembangkan potensi pertanian kotanya.
FYI, dari tahun ke tahun, jurusan pertanian tuh jarang loh masuk ke daftar jurusan favorit. Ini kabar baik. Jurusan berprospek, tapi sepi peminat. Wah, bakal bikin kita berpeluang besar untuk mendapatkan kursinya di PTN, tuh. Nanti, saat udah jadi ahli, kita bisa bantu teman-teman di Baubau mengembangkan potensinya, deh
Dipublis di: Majalah HAI no. 41 2016 (Cek PDF)
Tinggalkan Balasan