Ada sejumlah guru yang paham betul pelajarannya sulit dipahami. Saat di kelas tak cukup efektif, bimbel di luar sekolah pun dibuka. Pengajaran lebih asik. Siapa ikut, nilai bisa terangkut.
Pak Rinto, nama samaran, nggak mengikuti acara lomba-lomba peringatan 17 Agustus sampai selesai Selasa itu. Ajakan adu catur dari seorang murid yang penasaran betul ingin bisa mengalahkannya pun ia tolak. Begitu juga dengan seporsi nasi tumpeng yang disajikan rapih oleh muridnya dari kelas XI, nggak ia gubris barang sesuap. Padahal matanya terlihat lapar “Ini saya bungkus saja, deh. Saya harus ke rumah. Sudah mau pukul empat. Takut sudah ada anak-anak yang menunggu,” katanya sambil melihat Apple Watch-nya.
Saat itu jam menunjukkan pukul 15.40. Untuk bisa sampai ke rumah dari sekolah, Pak Rinto nggak butuh waktu lama memang. Selain hanya berjarak sekitar 3 km, komplek tempat pak Rinto tinggal bisa dituju tanpa bertemu macet. Sekali naik mikrolet dari depan sekolah, pak Rinto sudah bisa turun di depan kompleksnya dalam waktu 15 menit. Bahkan, jika sedang menggunakan motor Astrea-nya, dalam 15 menit sudah ia bisa sampai hingga ke rumah.
Namun, hanya anak perempuannya saja yang pak Rinto lihat sesampainya di sana. Sedang menyapu halaman sambil mendengar lagu lewat headset.
“Belum ada anak-anak yang datang dari tadi?” tanya pak Rinto pada anaknya.
“Belum keliatan, tuh.”
Anak-anak yang dimaksud pak Rinto adalah anak muridnya yang seharusnya rutin datang tiap sore untuk mengikuti les fisika. Tapi, hingga pukul 16.20, belum terlihat seorang pun yang datang.
“Kayaknya gara-gara di sekolah lagi ada 17-an, jadi mood mereka ada di sana. Nggak ada les hari ini berarti. Ya senggaknya saya sudah datang dan siap mengajar,” kata Pak Rinto santai. Ia seperti sudah apal betul kelakuan murid-muridnya. Bisa saja pak Rinto menanyakan satu persatu para peserta les lewat hapenya, tapi ia memilih untuk memaklumi, sebagaimana biasanya.
Nggak cuma pada Selasa saja les fisika di rumahnya digelar, melainkan tiap hari. Pak Rinto membagi-bagi jadwalnya: Selasa untuk kelas X, Kamis untuk kelas XI. Dia bukannya nggak buka kelas untuk kelas XII, cuma saja di tingkat akhir tersebut, murid-muridnya lebih memilih ikut bimbingan belajar di tempat lain, yang lebih intensif, untuk persiapan ujian nasional dan persiapan seleksi universitas.
Berbeda dengan kemarin lusanya, Kamis sore itu, saat saya berkunjung lagi, sudah ada dua anak yang nangkring di depan pagar rumah pak Rinto, yaitu Oki dan Maul, nama samaran. Sementara Oki sudah pulang ke rumah dulu dan berganti pakaian, bahkan sudah mandi lagi, Maul datang masih dengan seragam sekolahnya: atasan batik biru dan celana putih.
“Eh, nyalain tethering hape lo dong,” pinta Maul masih di motornya. Ia seperti ragu untuk langsung parkir.
“Mau ngapain lu?”
“Mau nge-LINE si Alifa, nanyain yang lain pada dateng atau nggak.”
Les dimulai sepuluh menit kemudian, setelah pak Rinto mengeluarkan mobilnya dari garasi lalu mengatur meja dan kursi plastik yang sebelumnya ditumpuk di pojokan. AC dinyalakan, proyektor dan laptop ia siapkan, garasi yang cukup memuat satu Kijangnya itu berubah menjadi ruang kelas.
Semestinya ada tujuh anak yang datang sore itu, nggak cuma Oki, Maul, dan Kevin yang datang begitu kelas dimulai. Namun, kayaknya empat sisanya berhalangan, Alifa yang diduga akan hadir pun nggak keliatan sampai kelas berakhir.
“si Alifa udah lupa kali sama les ini,” celetuk pak Rinto di tengah-tengah materi.
Di sekolah, Pak Rinto selalu terlihat gagah dengan seragam dinasnya. Namun di rumah, pria berambut putih ini terlihat sangat santai. Ia hanya memakai kaos dan celana pendek.
Sore itu kelas membahas soal-soal yang sudah ditugaskan. Materinya tentang kinematika dengan analisa vektor. Nggak kurang dari tiga soal diurai cara penyelesaiannya oleh pak Rinto.
Ngomong-ngomong soal tugas, rupanya pak Rinto adalah tipe guru yang sangat mengandalkan latihan mengerjakan tugas demi membuat murid-muridnya terbiasa dengan fisika. Saban satu bab bahasan berakhir, ia menghadiahkan murid-muridnya dengan tugas. “Bisa 30 sampai 60 nomor,” cerita Oki. Sumbernya, bisa dari buku paket atau soal bikinannya sendiri yang disebar ke murid-murid secara online.
Tugas tersebut ditulis di buku khusus. Dan mesti dikumpul seminggu setelah diberikan. Mejanya di ruang guru sekolah selalu penuh dengan tumpukan buku tugas murid.
Beres menghabiskan waktu sejam untuk membahas soal-soal tugas tersebut, Pak Rinto menampilkan file soal-soal lainnya yang belum pernah didapat Oki, Kevin, maupun Maul.
Setelah ketiga muridnya itu mencoba menjawab soal nomor 10 Pak Rinto bilang kalau itu merupakan gambaran soal mid test nanti.
“Wah, flashdisk mana, flashdisk. Buruan di-copy filenya,” kata Kevin setengah serius setengah becanda kepada Oki saat Pak Rinto sedang meninggalkan ruangan. Kevin punya dugaan kuat kalau soal yang dibahas tadi akan jadi soal mid-testnya kemudian yang hanya akan diubah angka-angkanya. Lumayan, buat bahan latihan dan bisa disebar ke teman-teman lain, pikirnya.
Jika bagi murid-murid jurusan IPA di sekolah tugas pak Rinto tadi terasa seperti mendaki bukit, maka ujian darinya adalah menjajal arung jeram. Jauh lebih singkat tapi supermenegangkan. Tiap murid disuruh maju ke depan lalu mengambil kocokan dan mengerjakan soal sesuai nomor yang didapat, di depan kelas, ditonton teman-teman lainnya.
Pak Rinto sudah mengajar Fisika sejak tahun 1982. Di masa awal-awalnya menjadi guru, lulusan jurusan Fisika Murni ini mengajar di banyak sekolah sekaligus. “Dulu upah guru tuh kecil sekali. Sekarang sudah lebih baik, pemerintah lebih peduli dengan kesejahteraan guru. Ya, walaupun masih dalam tahap cukup, sih. Tapi kalau punya anak yang udah kuliah di luar kota itu masih belum cukup,” ceritanya.
Hingga akhirnya ia diangkat menjadi PNS dan mengajar tetap di sekolah negeri tempatnya kerja sekarang ini.
Demi membantu murid-muridnya yang butuh tambahan pendampingan belajar Fisika ia buka kelas tambahan di rumahnya itu. Sudah sejak 15 tahun lalu. Bahkan, dulu tak hanya fisika, tetapi juga Kimia dan Matematika yang diampu dua rekannya. Ada kalanya juga, murid dari sekolah lain pun daftar di sini
“Tapi, kan, sekarang tempat bimbel udah makin banyak,” ujarnya. “Sekarang ini masih sepi, tujuh orang. Nanti deh kalau udah musim ulangan, mulai pada daftar.”
Shila, nama samaran, salah satu muridnya yang kini sudah kelas XII ngaku kalau cara mengajar pak Rinto di rumahnya dan di sekolah berbeda. “Di tempat les dia lebih sabar. (Dia mengajar) sampai kami benar-benar mengerti. Gue pun lebih ngerti sejak belajar di sana,” kata cewek berhijab ini.
Cerita tentang guru sekolah negeri yang menawarkan les khusus di luar jam sekolah nggak cuma ada di satu-dua tempat. Menurut survei yang HAI lakukan, kebanyakan guru tersebut adalah pengajar mata pelajaran eksak. Seperti Fisika, Matematika, dan Kimia, selain bahasa Inggris yang ada di beberapa sekolah.
Alfa, teman kita dari sebuah SMA Negeri di Yogyakarta juga cerita bahwa di sekolahnya ada tuh guru Matematika yang buka les juga. Sudah sejak awal masuk tahun ajaran baru, Bu Ani, nama samaran, mempromosikan lesnya itu.
Ifo, teman seangkatan Alfa adalah salah satu pesertanya. Di kelas X lalu, siswi kelas XI ini merasa sangat terbantu dengan pendalaman materi lewat les itu.
“Les itu membantu murid-murid yang masih belum paham seperti aku dengan materi yang telah disampaikan selama di kelas. Toh, kalau les jadi lebih fokus belajarnya dan bisa tanya-tanya sepuasnya, kalau di kelas kan terbatas,” ungkap cewek berhijab ini santai.
Les tersebut dilakukan di lantai atas rumah sang guru. Ongkosnya Rp 30.000 per murid tiap kali pertemuan.
“Sistem lesnya, tuh, seminggu sekali. Dalam satu kelompok ada enam anak. Normalnya selama empat kali pertemuan doang, tapi fleksibel bisa nambah atau private gitu kalau masih kurang paham. Waktunya menyesuaikan. Bisa ganti hari sesuai kesepakatan,” cerita Ifo yang suka nyemil snack atau makan mie instan bareng sambil les.
Di sana, mereka mengulang materi yang sudah diulas di sekolah namun belum dipahami betul. Pembahasan soal tentu jadi lebih intim dan fokus. Peserta bisa bertanya sepuasnya.
Gara-gara les itu, Ifo mengaku kalau nilai Matematikanya terkatrol drastis. Sebelumnya, hanya berkisar di 30-50. Setelah les, nilainya nggak kurang dari 80.
“Ibunya jadi hapal sama anak-anak yang les, terus tiap selesai ulangan bisa langsung tanya nilai dan membahas soalnya langsung,” repet Ifo yang sering juga dapet update kisi-kisi soal ulangan dari les itu.
Nggak cuma di rumah, les tambahan dari guru sekolah juga ada yang digelar di ruang kelas sekolah. Seperti yang terjadi di sebuah sekolah negeri bilangan Ciledug, Tangerang.
Guru Fisika kelas XI di sana mengajak siswanya untuk membentuk sesuatu yang mereka sebut kelompok belajar sepulang sekolah. Nggak gratis, tiap peserta dikenakan iuran Rp 100.000 tiap bulan.
Sang guru yang tinggal jauh dari keluarganya di Cirebon sana itu buka les tiap Senin, Selasa dan Kamis, pukul 15.00 hingga menjelang magrib.
“Cara ngajarnya di kelas dan di les sebenarnya sama. Bedanya, di les dia lebih banyak bahas soal, buat latihan,” kata Alin salah satu murid yang mengikuti lesnya itu.
Tio, nama samaran, kakak kelas Alin yang sudah merasakan manfaat les tersebut cerita bahwa semenjak ikut les nilai Fisikanya bisa mencapai 85, naik 10 poin dari sebelumnya.
“Kalau anak les, tiap ulangan disuruhnya jawab pakai pensil aja. Nanti kalau ada yang salah, dia hapus dan dia ganti jawabannya. Gue pernah, tuh, pas kertas ulangannya dibalikkin, ada tulisan yang diganti. Gue tau banget itu bukan tulisan gue,” kata cewek yang walaupun sekarang sudah lulus SMA ini namun belum berkuliah.
Tak Mempan Sanksi
Seperti yang sudah kita duga, kehadiran guru yang buka bimbel di luar sekolah pasti akan menuai kecemburuan sekaligus kecurigaan.
Kegeraman terhadap gurunya itu makin menjadi-jadi pada Alfa. Gimana nggak, dia tahu ada temannya yang dipaksa untuk ikut lesnya.
“Pernah dulu ada temen yang nanya tentang matematika selesai jam pelajaran, eh, malah disuruh dateng ke rumah beliau alias ikutan les, kan aneh banget?,” bocor siswa yang kini duduk di kelas XII IPA. Selain itu, guru tersebut juga jarang memberikan remedial dan diduga Alfa suka asal dalam memberi nilai.
“Nilai UKK matematikaku aja cuma 75, padahal aku peringkat tiga pararel rangkingnya dan ngerasa bisa ngerjain soalnya waktu itu,” curhat Alfa.
Nggak cuma para siswa yang jengah dengan ketidakadilan guru yang buka bimbel, pihak sekolah pun sebenarnya merasakan hal yang sama.
Bu Ani, nama samaran, guru di sekolah Alfa tahu betul gimana Bu Alan sudah ditegur oleh petinggi sekolah dan kurang disukai guru-guru lain karena kelakuannya itu.
“Saya pribadi dan beberapa guru amat sangat tidak setuju jika ada guru yang buka les di Sekolah, karena itu bertentangan dengan undang-undang dan peraturan pemerintah,” ungkap Bu Ani.
Bu Ani juga menyanyangkan sikap kepala sekolah yang terlalu memaklumi kelakuan bu Alan itu. “Ia (Bu Alan) sudah sering ditegur, tapi nggak dihiraukan. Selain itu, atasan di sini kurang tegas pula dalam memberi sanksi. Dulu pernah ditegus, tapi cuma ditegur saja tanpa ada kelanjutan. Alasan dia (pak Kepala Sekolah), sih, alasan kemanusiaan,” paparnya.
Jika menurut pada aturan, bu Ani berpendapat, bahwa aksi bu Alan itu bisa diganjar dengan sanksi potongan jam mengajar, sehingga nggak memenuhi syarat sertifikasi.
Isu Kesejahteraan
St Kartono, pengamat pendidikan, juga sepakat bahwa guru yang membuka bimbel berbayar untuk murid sekolahnya itu nggak adil. Menurutnya, guru mesti menuntaskan pengajarannya di kelas di sekolah.
“Guru (sekolah) itu bukan guru silat yang ketika punya sepuluh jurus tapi yang diajarkan kepada sekolahnya cuma sembilan. Jurus satunya disimpan hanya untuk yang mau bayar les ke dia. Seharusnya guru memberikan pelayanan yang utuh di sekolah. Kalau guru membuka bimbel untuk muridnya sendiri menurut saya itu kurang elok,” kata pria yang sering menulis kolom opini tentang pendidikan di surat kabar nasional ini.
St Kartono juga tak setuju jika alasan guru membuka bimbel itu adalah karena demi menutupi kebutuhannya yang nggak bisa dipenuhi dari gaji guru negeri. Katanya, “Saya tidak setuju kalau ketidaksejahteraan dipakai untuk pembelaan perilaku yang tidak etis. Peningkatan mutu dan guru yang etis itu nggak berkait langsung dengan penghasilan.”
Dilarang Undang-undang dan Kode Etik
Dalam Undang-undang no 14 tahun 2005 pasal 1 guru diharapkan bisa menjalani profesinya dengan profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik
Lalu di pasal 20, kewajiban guru diatur. Guru yang membuka bimbel di luar sekolah melanggar poin c pasal tersebut yang menyebutkan bahwa guru memiliki kewajiban untuk:
“Bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran;”
Sementara itu kode etik guru yang dirancang oleh Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) melalui kongresnya pada 2013, guru disebutkan wajib menjaga hubungan profesional dengan peserta didik.
Pada PGRI XXI NO. VI/KONGRES/XXI/PGRI/2013 pasal 2 nomor 7, disebutkan guru wajib:
“Menjaga hubungan profesional dengan peserta didik dan tidak memanfaatkan untuk keutungnagn pribadi dan /atau kelompok dan tidak mealnggar norma yang berlaku”
See? Kesimpulannya, kalau di sekolah lo ada guru yang buka les di luar sekolah, maka jangan ragu untuk adukan ke kepala sekolah dan pemerintah, bro! Tuntut dia untuk memberikan pengajaran maksimal dan adil kepada seluruh siswa. Ini adalah masalah sekolah yang mesti kita beresi bersama.
Penulis: Rizki Ramadan
Reporter: Rizki Ramadan, Rasyid Sidiq, Ghufron Zein.
Ilustrator: Rahman Subagio
Dipublis di: Majalah HAI no. 35 2016 (Cek PDF)
Tinggalkan Balasan