Bayangkan, kamu diminta menunggu sambil disuguhkan nasi padang tapi cuma pakai kuah dan daun singkong.
“Kalau kamu mau menunggu 20 menit, kamu bisa mendapat gulai ayam, plus kerupuk kulit. Kamu boleh saja memakan nasi itu lebih dulu, tapi nanti lauk ini akan diberikan ke orang lain,” kata si pelayan.
Apa yang akan kamu pilih?
Pada tahun 1960-an, Walter Mischel, professor dari Universitas Stanford bikin tantangan serupa. Bedanya, yang dia suguhkan hanya satu buah marshmallow. Kalau bisa sabar 20 menit peserta bakal dikasih dua marshmallow
Nyatanya, hanya beberapa peserta saja yang sanggup. Sisanya, nggak tahan pengin memakannya. Bahkan ada yang udah memakannya di dua menit pertama. Nyam
Tantangan ini kemudian menghasilkan teori delayed gratification alias kepuasan yang ditunda. Setelah diamati, peserta yang sanggup menahan diri, ternyata memilik skor lebih tinggi di tes TPA, jauh dari kemungkinan obesitas, lebih andal mengendalikan tekanan. Peneliti mengikuti terus mereka sampai 40 tahun kemudian. Terbukti, mereka yang menahan diri hidupnya lebih sukses walafiat.
Di tahun 2011, industri jurnalistik kedatangan majalah berita dari Inggris yang cukup revolusioner. Nama majalahnya sama persis kayak teori Kakek Walter, Delayed Gratification. Dari merekalah istilah slow journalism kian tenar. Terbit 3 bulan sekali, DG mantap menjanjikan cerita yang bernas dan mangkus. “We value being right than being first. We invest in journalism. We tell you how stories end,” kata mereka. Berita yang memuaskan pastinya
Mari balik kaitkan dengan urusan-urusan hidup yang lain. Kita bisa saja menganggap menunda itu sama dengan membuang-buang waktu. Tapi menunda adalah juga perkara menahan diri untuk nggak terjebak tuntutan semu waktu.
Menunda, andaikan bukan dianggap sebagai mengulur-ulur waktu, melainkan memanjangkan durasi usaha (semoga bengong dan kontemplasi juga dianggap usaha) akan membawa kita ke kepuasan yang lebih.
Singkat kata, kuasailah dirimu
Tinggalkan Balasan