Kunjungan saya ke Belitung ini besar dipengaruhi oleh Rima yang berulang tahun. Ia ingin merayakannya dengan nyobain solo traveling di saat-saat ia menuju usia 23 tahun. Rima sudah merencanakannya sejak lama. Sejak September kalau nggak salah. Doi sudah beli tiket pesawatnya–lewat penjual tiket promo di Instagram–sudah memesan kamar untuk dirinya di Surya, penginapan yang paling direkomendasikan para bloger karena biaya permalamnya berkisar 80-150 ribu; dan sudah merencanakan tempat-tempat yang akan dikunjunginya kemudian.
Nah, yang terakhir itu Rima nggak mau banyak menceritakannya. Ya nggak masalah. Rima punya hak untuk memiliki rencana perjalanannya sendiri; sebagaimana saya punya hak untuk diam-diam punya rencana untuk menyusulnya.
Saya berangkat Sabtu siang bermodal tiket Sriwijaya yang saya beli sekitar Rp 350.000. Agak nggak mau kalah dari Rima, saya pun ingin mencicip pengalaman menjelajah daerah baru sendirian. Setibanya di Belitung saya langsung menaruh barang di penginapan, menyewa motor Kharisma beserta helmnya dengan ongkos Rp 70.000 perhari, lalu ngebut–tapi sayang, kecepatannya cuma mentok di 60 km/jam–ke daerah Pantai Tanjung Klayar yang berjarak sekitar 35 km dari kota Tanjung Pandan, dengan mengandalkan GMaps tentunya. Jalanan yang saya lewati itu adalah jalanan yang paling damai, bersahaja, dan sepi yang pernah saya lewati. Di kota tempat kita bisa meninggalkan motor dengan kunci masih terpasang sekali pun, tanpa merasa resah akan ada yang mencurinya ini, jalanan sepi nggak menyimpan ancaman.
 |
di pantai Tanjung Panjang |
Sampai di Tanjung Klayar, saya memarkir motor di dekat warung yang agak jauh dari pusat keramaian. Lalu membalas sapaan ibu penjaga warung, kemudian melihat laut dari pinggir pohon berayunan, melihat batu besar yang nemplok nggak jauh dari pantai, dan saya tahu, itu bukan rumah Patrick si bintang laut. Itu adalah batu granit hasil bekuan magma berusia nggak kurang dari 200 tahun yang kemudian menjadi salah satu ikon keindahan pantai di sana.
Saya kirim pesan ke Rima, menanyakan ia sedang apa, dan ia balas lewat sambungan telpon yang lanjut dengan ajakan video call. Jelas saya tolak.
Rima saat itu juga berada di sekitaran Tanjung Kelayar. “Di sini sepi ternyata, nggak banyak orang, yang aku lihat adalah pantai, pasir putih, dan perahu-perahu menepi. Dari sini, orang-orang yang mau ke nyeberang ke pulau Lengkuas berangkat,” ceritanya.
Telpon saya tutup, motor saya nyalakan lagi. Putar arah lalu menuju Pantai Tanjung Panjang yang ternyata cuma berjarak tempuh 15 menit dari situ.
Saya suka Tanjung Panjang, betapapun itu adalah pantai mainstream karena menjadi salah satu lokasi syuting film yang mengubah Belitung, Laskar Pelangi. Di situ, pantainya seperti kolam berenang. Ombaknya tenang, areanya luas, di tepinya banyak yang menjajakan alat renang sewaan, bahkan ada penyewaan perahu. Dan yang paling asyik, pantai di keliling batu granit! spot asyik untuk berfoto, tentu.
Yang saya suka dari perjalanan solo adalah ya pertama, bebas belok-belok, dan bisa tiba-tiba lama di suatu tempat. Di Tanjung Panjang saja, walau rencanaya cuma satu jam saja, eh, saya di sana sampai tiga jam. Makan ini-itu, berfoto di sana-sini, berenang, dan ngobrol dengan pengunjung lain:, yaitu mas-mas dari Jawa yang ke Belitung demi mengerjakan proyek pembangunan hotel Sheraton.

Sebutlah saya hipster, yang tiap berkunjung ke suatu kota, selalu ingin menclok di kedai kopi. Di Belitung, saya memilih menghampiri Kong Djie. Saat perjalanan ke pantai, saya melihat kedai ini. Tampak luarnya menarik: ceret-ceret yang digunakan untuk meracik kopinya itu, lho. Besar-besar dan belum pernah saya lihat sebelumnya. Pasti ini kopi otentik, pikir saya.
Dan yang paling mengejutkan ternyata bukan rasa kopi dan interiornya, melakukan para petugasnya. Mereka berbahasa Sunda! “Nu ieu, mesen naon. Jadi total sabaraha?” kata bapak yang di kasir kepada mbak yang sibuk melayani, tentang pesanan saya.
Dari Antara News saya tahu, bahwa empunya Kong Djie kini adalah lulusan kampus Bandung. Dia adalah Ishak, anak Marga Ho pendiri kedai kopi ini. Walau sudah ada 7 cabang, namun Kong Djie yang paling original adalah yang ada di Jalan Siburik Barat itu.
“Cabang lainnya cabang setengah hati. Mereka ngambil bubuk kopinya dari sini dan pakai nama kami,” kata Ishak yang juga berencana bikin yayasan untuk bantu pendidikan anak-anak di Belitung.
Malam itu adalah malam minggu. Saya ditemani kopi susu, obrolan pengunjung-pengunjung lain, dan kue tart kecil yang baru saya beli untuk diberikan keesokan paginya.
Keesokannya adalah Minggu yang kemudian menjadi hari hujan. Rima cerita, beberapa tahun belakangan, 13 November selalu hujan. Belitung Pos mengabarkan keesokan harinya, di Minggu itu terjadi banjir paling parah selama ini di sana. Luar biasa! Sejak subuh hingga pukul 16.00 hujan nggak sedikitpun berhenti. Langit sedang rindu-rindunya sama Bumi kayaknya, nggak pengen manusia keluar rumah melihat mereka berdua bermesraan.
Sementara itu, Rima juga sedang senang-senangnya semoga; walau pacarnya sok tangguh ngasih tawaran ini-itu, padahal diserang flu sedikit saja langsung runtuh.
 |
di Museum Kata |
 |
di ruang kelas sekolah replika lokasi syuting Laskar Pelangi |
Tapi kemudian, perjalanan solo saya dan Rima berakhir jua. Siang jelang sore, kami berbarengan menyusuri jalan hingga 80 km menuju Belitung Timur dengan mobil sewaan. Seusai jarak tempuh dua jam setengah kami tiba di museum tengah desa. Museum Kata Andrea Hirata.
Di situ, saya tertegun. Saya baru menyadari, betapa Andrea Hirata tuh adalah sosok penting banget bagi Belitung. Saya sepakat dengan Harian Kompas yang menyebut karya Andrea Hirata itu mengubah Belitung. Pesona Belitung jadi tersebar ke mana-mana. Ternyata, cerita di buku bisa berdampak besar pada kehidupan nyata. Saya memastikan, jika Andrea maju ke Pilkada Belitung, maka usaha yang dilakukan caleg lainnya hanya menjadi usaha mencincang air.
Tujuan dambaan kami lainnya adalah Danau Kaolin. Kami ingin menikmati pemandangan bentangan air muda dikeliing putih-putih kawah bekas tambah kaolin ini, yang fotonya ingin saya kirim ke Hira, kawan saya, yang saat itu sedang plesir ke Islandia dengan teks penyerta, “Gue juga lagi di Islandia. Lo dimananya?”
Harapan itu kami padamkan karena ternyata kami pulang saat hari sudah malam.
Tapi ternyata, semesta berkata lain. Penjual tahu Sumedang saja bisa ada di tengah lika-likunya jalan panjang nan sepi menuju Belitung Barat, korek basah pun ternyata bisa dipakai untuk menyalakan harapan padam itu.
“Dari sini ke bandara berapa lama, Pak?” kata saya ke pak supir. Saat itu pukul enam pagi.
“Ah, paling 15 menit.”
“Denger-denger, Danau Kaolin itu searah dengan ke bandara ya, Pak?”
“Iya. Mau mampir dulu? bisa kok. Dekat banget.”
Ah, pancingan berhasil. Sebelum kami ke bandara untuk naik pesawat masing-masing, di antara waktu yang secuil dan kesempatan yang timbul-tenggelam itu, kami ternyata berkesempatan mampir tujuan idaman.
 |
Idaman 🙂 |
Menyukai ini:
Suka Memuat…
Tinggalkan Balasan