Dari Kelas Menulis Calon Pengajar Muda

Tebak, saya yang mana? Ya, betul. Yang motret! 
Ayu Utami, di buku Menulis dan Berpikir Kreatif Cara Spiritualisme Kritis, bilang bahwa ada dua faktor utama yang membuat kita menulis, yaitu dorongan dan ide. Saya sepakat. Dorongan itu bisa berupa keinginan dari diri sendiri, atau ajakan (juga perintah) dari pihak lain. Sementara ide, adalah manifestasi dari pengalaman, ekspresi dan pemikiran kita, dikaitkan dengan kebutuhan atau tuntutan tertentu.

Nah, ngomong-ngomong soal dorongan, para calon pengajar muda tuh pasti bakal punya dorongan besar gara-gara pengalaman mereka bertugas di daerah pelosok setahun ke depan. Jadi, sebenarnya, tanpa perlu dituntut lagi sama pihak Indonesia Mengajar, mereka mesti punya hasrat untuk bercerita. 
Mahsyur membuktikannya. Pengajar Muda angkatan III ini cerita ke saya, selama di daerah dia hampir nggak pernah melewati hari tanpa menuils sesuatu di malam harinya.

“Tapi, tulisan yang dikirimkan para pengajar muda tuh kebanyakan temanya sama. Tentang kisah inspiratif dari murid atau warga yang mereka temui di sana,” Satria, salah satu tim Indonesia Mengajar yang juga mengurusi media IM, bercerita. 
Saya paham maksud Satria. Kesan itu juga yang saya rasakan saat baca buku Indonesia Mengajar yang isinya kumpulan cerita dari para pengajar muda angkatan pertama: gumoh inspirasi.  :p
Dari obrolan dengan para tim IM serta alumni PM yang terjadi pada Sabtu (19/11) sore kemarin, muncul satu kesimpulan. Tulisan para pengajar muda nantinya perlu diarahkan. Tak sekedar memaparkan buncahan perasaan sebagai anak muda kota yang berkunjung ke pelosok dan memanjakan delusi kepahlawanan pengajar terpelajar. 
Karena itu, dari tahun ke tahun, kelas penulisan selalu disajikan tiap kali masa enam minggu pelatihan sebelum berangkat ke daerah pelosok. Dan tiap tahun, menurut Satria, materi kelasnya sengaja dibuat fleksibel. Menyesuaikan dengan kebutuhan. 
Di kelas yang saya ikuti itu, topiknya adalah pengembangan ide tulisan dan eksplorasi gaya menulis. Kepada mereka saya menegaskan, sebermulanya menulis itu adalah bercerita. Ketika menulis, kita perlu memosikan diri kita seperti sedang bercerita sehari-hari saja. Pemahaman seperti itu memicu kita untuk luwes menuangkan kata demi kata. 
Lalu saya bilang, bahwa pengalaman ngajar nanti adalah gudang cerita. Adalah bohong kalau ada yang bilang nggak tahu apa yang bisa diceritakan. “Yang ada, kalian justru kebingungan, cerita mana yang mau dituliskan. Saking banyaknya,” kata saya. 
Mengikuti ajaran Ayu Utami di bukunya itu, saya juga ngajak para calon pengajar muda untuk membuat tulisan yang memuat data serta makna. “Tulisan yang baik adalah yang data-datanya bisa membentuk makna,” sungguh, saya mengutip Ayu Utami dalam ucapan itu. 
Saya juga menyampaikan apa yang mas Hikmat Darmawan pernah ajarkan ke saya. Menulis cerita nonfiksi adalah manifestasi dari the art of being there. Yeah, seni berada di suatu momen. 
Seorang pencerita, ketika berada di momen tertentu, pasti punya dorongan untuk menikmati betul segala hal yang mengesankan baginya. Di momen itu, penulis akan “belanja” bahan-bahan yang bisa membuat asik ceritanya nanti: mengingat motif baju yang dipakai warga yang kita ajak bicara, mengingat logat bicaranya, mencari lagi data untuk memperkuat temuannya, atau juga mencatat segala pengalaman serta perasaannya saat itu. Singkatnya, seorang pencerita mesti melihat sesuatu pada apapun (see something in everything). 

Materi satu arah di kelas itu nggak dibiarkan lama. Cukup 30 menit. Selebihnya, para peserta diajak untuk lebih intim sharing-nya. Pun, nggak semua peserta yang ikut, hanya 20 saja, mereka yang benar-benar ingin mendalami kepenulisan. Sekitar 20 sisanya, ikut ke kelas fotografi. 
20 peserta itu dibagi menjadi tiga kelompok, masing-masing kelompok bernaung ke satu pembimbing. Tiga pembimbing itu adalah saya, Mahsyur dan satu lagi alumni PM yang hobi nulis juga, Dimas namanya. Kami, para pembimbing, diminta untuk berbagi pengalaman soal kiat-kiat menulis, termasuk juga tentang gaya penulisan. 
Itu adalah pengalaman pertama saya sharing soal penulisan “sebegitunya”. Saya suka! Ya kau tahulah gimana asiknya dikumpulkan sama temen-temen baru yang punya ketertarikan sama, dan punya keinginan besar sesuatu yang sudah lebih dulu kau tekuni. Kami duduk melingkar, terus satu persatu saya minta mereka ajukan pertanyaan apapun tentang penulisan. Saya menjawabnya. 
“Jadi, gimana cara biar tulisan kita bisa jadi lebih enak dibaca. Lebih ngepop gitu,” tanya Bun Bun, calon pengajar muda asal Bandung. 
Saya jawab, ya kita mesti kayak ngobrol sama teman. Bedanya, menulis itu bisa di-CTRL-Z. Kita bisa merencanakannya lebih baik daripada ngobrol langsung secara lisan. Jawaban asal bunyi. Hehe. Lantas, dalam menulis, kita juga perlu menjelaskan sedetil mungkin. Kurangi penggunaan kata sifat. Alih-alih menyebut seorang anak pintar, misalnya, lebih baik kita ceritakan apa yang sudah ia lakukan dengan kepintarannya itu. 
Para peserta lalu diberi kesempatan untuk saling tukar ilmu yang mereka dapat dari pembimbing kelompoknya. 
Saya juga suka dengan kelanjutan kelas, yaitu ketika para penulis diminta pembawa acara, yaitu Elis, untuk membuat cerita dari kalimat asbun yang diajukan oleh seorang terpilih dari kelompoknya. Di kelompok saya, kalimat itu adalah “Saya ingin makan jengkol.” 
Dari kelas menulis itu, saya jadi punya banyak teman baru yang cerita-cerita serunya akan saya tunggu. 

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: