(Cerpen) Surat Pertama

Kamis pagi ini terasa janggal bagi Yusuf si pengantar surat. Bagaimana tidak, ketika sedang memilah-milah surat untuk dikelompokkan berdasarkan kota tujuan, ia mendapati sebuah surat dengan nama anaknya sebagai pengirim. Ditujukan ke sebuah alamat di Bandung, kode pos 40162. Dalam tumpukan itu, banyak juga surat-surat lain yang bertuliskan tulisan anak kecil.

“Kemaren siang rame banget anak-anak SD pada kemari, Suf. Sama gurunya juga. Tau deh tuh surat mau dikirimin ke mana. Satu sekolah disuruh ikutan jawab kuis kali ya,” Ali menjelaskan, seperti tahu kebingungan Yusuf.
Dua hari sebelumnya, di pelajaran Bahasa Indonesia kelasnya Suratni, anak Yusuf, Bu Yuli meminta murid-murinya membuka buku LKS. Semua anak tahu betul, kalau Bu Yuli sudah menyebut LKS, pasti jam main mereka bakal berkurang. Tapi, tugas yang akan diberikan Bu Yuli ke murid-murid kelas 5 kali itu sungguh berbeda dari biasanya.
Bu Yuli meminta anak-anak untuk membuka halaman paling akhir dari LKS.
“Suratni, coba kamu baca halaman itu,” ujar Bu Yuli
Suratni sigap, “Peserta Lomba Menulis Puisi.”
Pada halaman tersebut terdapat tiga puluh foto. Jumlah yang sama dengan jumlah murid di kelas Suratni. Di samping tiap foto, ada data nama lengkap, tanggal lahir—mereka lahir di tahun yang sama dengan Suratni dan hampir seluruh teman-teman sekelasnya; judul puisi yang mereka tulis; serta alamat lengkap.
Suratni akrab dengan dua judul puisi di antaranya. Ia ingat, ia pernah membacanya di LKS edisi sebelumnya. Di tiap edisi LKS, selalu ada halaman yang menampilkan puisi-puisi kiriman. Suratni baru tahu, ternyata puisi-puisi itu dilombakan. “Tugas kali ini nggak perlu dikumpulkan ke ibu, melainkan ke pak Pos. Besok lusa, kita ke kantor Pos sama-sama, yah,” tegas bu Yuli.
Murid sekelas diminta untuk membaca baik-baik profil di halaman itu, lalu memilih salah satu anak yang paling menarik. “Lalu buatlah surat, perkenalkan diri kalian, ajak dia berkenalan. Nanti lapor ke ibu kalau kalian sudah mendapatkan balasan,” lanjut bu Yuli.
Bahasa Indonesia adalah pelajaran yang paling disukai Suratni. Nilai ujian Bahasa Indonesianya memang belum bisa lebih dari tujuh, tapi setidaknya Suratni selalu menulis dengan bagus, di kertas yang bagus pula: Suratni punya binder bersampul hijau muda–warna favoritnya–dengan kertas isinya yang beragam gambar, khusus pelajaran bahasa Indonesia ia memilih warna kertas hijau muda.
Tulisan tangan Suratni adalah terbagus di kelasnya. Karena Suratni juga baik hati, Onit, kawan semejanya malah jadi ogah mencatat di kelas dan lebih memillih pinjam buku catatan Suratni saja tiap seminggu sebelum ujian. Itu adalah cara Suratni menunjukkan kecintaannya terhadap pelajaran Bahasa Indonesia.
Nah, tugas kali ini bikin Suratni sangat bergairah. Ia gugup sekaligus senang. Bagaimana tidak, ia akan berkenalan dengan pemenang lomba puisi. Pasti mereka suka juga dengan Bahasa Indonesia, pikir Suratni.
Malam harinya, Suratni tidak keluar kamar hingga pukul delapan. Ini adalah kali pertama ia telat makan malam, dan susah sekali dipanggil keluar oleh ibunya.
Di pelajaran Bahasa Indonesia berikutnya, dua hari setelah tugas diberikan, Suratni dan teman-teman sekelasnya pergi ke kantor Pos bersama bu Yuli sebagai pemandu yang ditemani bu Gayatri, guru Matematika yang kebetulan sedang tak ada jadwal mengajar saat itu.
Dua minggu setelahnya, teman-teman sekelas Suratni heboh, awalnya karena Dika bercerita kalau dirinya sudah mendapatkan surat balasan.
“Surat yang kudapat panjang banget isinya. Semalam sebelum tidur aku minta ibuku bacakan. Surat itu bisa bikin aku ngantuk lebih cepat daripada ketika dibacakan Buku Pintar. Hehe,” kata Dika.
“Pengirim surat untukku cerita kalau dia pernah diserang gerombolan tawon persis kayak di film kartun,” cerita Onit tentang teman suratnya, Oka, anak di Tangerang, kelas 5 SD.
“HAHAHAHA,” semua anak yang ada di kelas tertawa, kecuali Suratni.
Saat itu, hanya dua murid yang belum bisa ikut bercerita. Pertama, Diko, yang diduga suratnya belum sampai karena pak Pos kesulitan membaca alamat yang tertera. Maklum, Diko belajar menulis dengan meniru tulisan tangan ibunya yang dokter. Kedua, Suratni. Berbeda dengan Diko, surat kiriman Suratni rapih dan meriah. Lalu, di dalam amplop, Suratni memasukkan dua permen kesukaannya. Kalau anak-anak lainnya menggunakan satu prangko, Suratni dua. Satu untuk ditempel, satu ia masukkan ke dalam amplop, agar memudahkan calon sahabat penanya mengirim balasan, cara yang sama dipakai oleh ayahnya saat pacaran dengan ibunya dulu.
“Sabar ya. Semoga surat pertama kamu bukan jadi surat terakhir,” nasihat Bu Yuli yang malah bikin Suratni makin murung. Suratni belum pernah jatuh cinta, tapi kejadian ini bikin ia merasa patah hati.
Suratni mengirim surat kepada Roki Birusenja, siswa kelas 5 sebuah SD swasta di Bandung. Suratni suka sekali puisi Roki. Penuh rima, jauh dari kalimat yang menjelimet, dan lucu. Di puisinya yang berjudul Pramuka misalnya, ada bait yang berbunyi begini:
“Aku ranger merah, kamu ranger kuning. Daripada marah-marah, ada baiknya kita pergi camping.”
Puisi Roki selalu sukses bikin Suratni senyum-senyum sendiri. Suratni ingin sekali berteman dengan Roki, dan lanjut bertukar puisi. Di suratnya, Suratni memperkenalkan dirinya. Ia bercerita tentang asal usul nama lengkapnya. “Namaku Suratni Ismail. Bapakku pengantar surat. Karena itu ada ‘surat’ tersirat di dalam namaku, lalu diikuti dengan ‘is mail’ untuk memantapkannya. Kalau nama kamu artinya apa?” tulis Suratni di awal suratnya.

“Si eneng tuh gelisah, Pak, dia kemaren kirim surat, tapi belum dapet balesan juga,” kata Ambar, ibunya Suratni, kepada Yusuf, setelah makan malam yang masih tak diikuti Suratni itu. Ambar akhirnya tahu setelah ia bertemu dengan ibunya Onit di pasar.

Yusuf merasa bersalah, seharusnya ia bisa membuat surat itu diprioritaskan pengirimannya. Dengan mencabut prangko lalu mengirimkannya lewat paket pengiriman ekspres, misalnya.
“Terus, kita harus gimana, bu?” tanya Yusuf pada istrinya.
“Lah, kan situ pak Pos. Harusnya lebih tau.”
“Kasihan Suratni, bu. Gimana ya ngakalinnya?”
“Iya, ibu juga tau gimana rasanya. Dulu waktu bapak suka kirimi ibu surat, ibu selalu nungguin, lho. Kalau seminggu belum dapet balesan, ibu datengin kantor posnya. Takut suratmu nyelip. Padahal pas udah diterima, ibu nggak ngerti suratmu, pak. Tulisan bapak kayak anak SD banget,” Ambar jadi mengenang-ngenang.
Yusuf tersontak mendengar cerita istrinya itu. Mukanya penuh suka sekaligus kejut.
“Kalau sekarang tulisanku masih kayak anak SD nggak, bu?”
“Ya naik dikit lah, dulu kayak anak SD kelas 3, sekarang kayak anak SD kelas 5.”
“Sepantaran kayak Suratni dan teman-temannya dong, bu. Ibu masih inget nggak dulu surat pertama ku ibu bales apa?”
“Mmm…masih, Pak.”
“Ambilkan kertas dan pulpen, bu.”
– April 2016

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: