Tanpa mengingat hal serupa (tapi tak sama) yang pernah saya lakukan, saya mengira bahwa itu adalah ide yang gila sekaligus nyeleneh. Sepertinya, tak mungkin ada yang sampai segitu terobsesi untuk berkenalan dengan strangers.
Hmm. Tapi tunggu dulu, cerita kawan saya itu bikin saya berpikir dan mengingat-ingat. Rasa-rasanya kisah berkirim surat kepada orang yang dikenal dari infomedia itu pernah ada. Ahaa! Cerita itu ada di film Mary and Max. Tak lama setelahnya, saya pun mengunduh film dan melahapnya lagi, kali ini saya menguyahnya secara perlahan.
Mary and Max adalah sebuah film keluaran tahun 2009 yang diadopsi dari kisah nyata tentang dua orang sahabat pena yang terpisah benua dan dengan rentang umur yang jauh berbeda. Mary Daisy Dinkle adalah seorang gadis delapan tahun yang tinggal di Australia. Hidupnya begitu sepi. Selain menjadi anak tunggal di keluarga, anak-anak di sekolahnya selalu mengejek karen tanda lahir di dahiny. Tak hanya itu, Ayahnya sibuk dengan pekerjaan, sementara ibunya sangat tidak bersahabat.Lengkaplah sudah kesepiannya.
Seperti halnya anak kecil, Mary yang pendiam itu selalu memiliki rasa ingin tahu yang besar. Salah satu pertanyaan besar yang tumbuh dalam pikirannya saat itu adalah asal muasal bayi di dunia ini. Karena merasa tak puas dengan jawaban yang ia peroleh dari kakeknya – yang menyebutkan bahwa bayi itu lahir dari gelas berisi bir – Mary pun ingin mendapatkan jawaban versi benua lain. Bisa jadi di Amerika sana bayi muncul dari kaleng coca-cola, begitulah pikirnya. Saat berkunjung ke toko buku bersama ibunya, Mary mencatat alamat seseorang di New York dari Infomedia Amerika. Nama Max Jerry Horowitz lah yang tak sengaja terpilih.
Malamnya, ia dengan khusyuk menuliskan surat untuk orang asing di amerika sana. Tak hanya pertanyaan tentang asal muasal bayi yang ia tuliskan. Ia memperkenalkan dirinya, menggambarkan mukanya, hingga bercerita tentang serial kartun favoritnya, The Hoblets.
\”It would be great if you write back and be my friend,\”
tulis Mary sebagai kalimat penutup surat pertama.
Menariknya, saat mulai menulis surat, ia terlihat begitu berapi-api, bahkan begitu banyak hal yang diceritakannya di luar tanggapan untuk surat Mary. Jika dibandingkan, porsi cerita barunya mendominasi surat, sementara balasan surat sebelumnya hanya dua-tiga kalimat, itu pun ditulis di bagian akhir. Rasanya tak berlebihann dong kalau saya bilang bahwa menulis adalah oksigen yang membantu kita untuk menyelami diri. Ya, di dunia tulisan dalam surat itu, seorang introvert pun bisa berkoar dan berekspresi selayaknya ekstrovert sedang unjuk gigi.
Lalu saya punya satu pertanyaan: Apa yang membuat dua orang asing itu mau saling berinteraksi dan berbagi cerita hingga kisah personal tentang kehidupannya masing-masing? Ramuan apa yang bisa menghasilkan chemistry persahabatan di antara mereka?
Mungkin ada baiknya saya coba pikirkan terlebih dahulu apa dan kapan seseorang itu disebut asing atau strangers? Ketika saya menyebut bahwa saya adalah strangers ke kawan saya tersebut di atas, ia mengelak. Katanya kami saling mengenal. Lalu saya menimpali, “walau saling tahu nama dan pernah berada dalam satu lingkup yang sama, kita tidak sering berinteraksi dan mengenal”. Lantas, karena tidak merasa alasan saya kuat, saya pun menyudahinya dan mengaku berlebih telah menyebut diri sebagai seorang strangers. Haha.
Menilik pola komunikasi Mary dan Max, saya pun berasumsi: berinteraksi dengan orang asing itu seperti menulis di kertas kosong, seperti membangun konstruksi kota di lahan tak berpenghuni. Kita bisa menentukan mau seperti apakah konstruksi diri kita di lahan kosong itu. Kita bisa saling merancang konsep diri, yang bahkan baru sekali pun di bingkai pikiran orang itu.
Lalu, mengapa rentang umur yang sangat jauh antara kedua orang ini bisa menggandengkan keduanya? Ah, menurut hemat saya, tak peduli berapa pun usianya, kertas akan selalu senang untuk ditulisi. Nah, ketika kertas-kertas kosong itu selalu tersedia kapan pun dibutuhkan dan kertas-kertas yang sudah terisi selalu dikumpulkan dengan baik maka itulah persahabatan. Berinteraksi dengan sahabat itu tak beda seperti menulis diari bukan? Kita tidak akan merasa khawatir untuk menumpahkan isi hati.
Setelah mencoba memahami dan menafsirkannya, tagline film ini pun terasa benar adanya:
“Sometimes perfect strangers make the best friends.”
Film gubahan Adam Elliot yang mengandalkan teknik clay animation (animasi dari tanah liat) dan menggunakan tonal monochrome ini dengan manisnya mengajarkan kita betapa berkirim surat dan menjalin pertemanan itu sangat menyenangkan. Ternyata bahasa non verbal itu bisa terasa lebih hangat dan penuh makna. Kita bebas menerjemahkan seluruh pesan yang diwujudkan dalam bungkusan yang ditempelin prangko itu. Menerima bingkisan surat itu seperti menerima kotak pandora, isinya selalu tak tertebak dan mengejutkan.. Haha
😀
Tinggalkan Balasan