\”Melihara binatang itu melatih kita kita untuk tanggung jawab, Ki\”
Itu adalah ucapan Lodar, salah satu sohib, saat saya berkunjung ke kosnya. Saat itu – 2011 awal – Lodar memelihara kucing muda yang kalau saya nggak salah inget adalah pemberian dari temannya. Ia sengaja meminta kucing itu agar bisa dipelihara.
Mungkin Lodar jadi bicara itu karena melihat saya risih dengan kucingnya yang nggak bisa diam berlari-lari di kamarnya yang sempit dan bertaburan barang di mana-mana. Ya, saya memang sedikit risih kalau ada kucing, bukan berarti nggak suka atau takut, cuma belum bisa terbiasa digigit dan dicakar aja, jadi kadang mendadak panik. Haha.
Mendengar ucapan itu pun membuat saya mengingat beberapa waktu ke belakang. Pantas Lodar sering kukuh untuk pulang saat di ajak bermalam di kos saya untuk main. Bisa jadi itu karena ia harus mengurus kucingnya tersebut. Walau akhirnya kucing itu memilih untuk bebas, tapi pasti sudah meninggalkan pelajaran tanggung jawab untuk Lodar.
Akhir-akhir ini, tiba-tiba saya teringat lagi dengan perkataan Lodar itu. Satu alasan besarnya adalah secara tidak langsung saya memelihara kucing. Kenapa secara nggak langsung? karena saya tidak merencanakannya, melainkan kucing itu sendiri yang memilih untuk menetap di halaman rumah sejak (kurang lebih) November tahun lalu.
Karena kami nggak dididik untuk memelihara binatang, apalagi kucing, kami sedikit banyak mengutuk keberadaan si kucing betina belang kuning-abu-putih itu. Sesekali kami memang memberi makanan sisa, tapi itu hanya guna memancingnya keluar rumah. Ya, ia sering menyelinap masuk ketika melihat pintu terbuka barang sedikit.
Lantas, karena merasa malas untuk berbuat lebih agar si kucing itu kapok masuk ke rumah – memasukkannya ke karung lalu membuang di tempat jauh misalnya – kami memilih untuk acuh membiarkan. Kalau ia masuk ya keluarkan dengan paksa, kalau lagi ada makanan sisa ya dikasih. Begitu rumusnya. Tidak ada keinginan untuk memanjakannya seperti kebanyakan orang apalagi sampai memberi nama dan memberi kalung. Haha.
Tapi keadaan mulai sedikit berubah saat ia hamil besar. Perlu diketahui terlebih dahulu, selama tinggal di sini, kucing tanpa nama itu sudah dua kali hamil. Sayang, dia belum begitu akrab dengan kami saat hamil pertama, kami pun sedikit acuh, apalagi keberadaan anaknya pun antah berantah. Kami hanya sempat melihatnya satu-dua minggu. Sempat disediakan kerdus beralas sebagai tempat hangat, tapi anak-anaknya menghilang begitu saja. Entah dimakan kucing lain, dititipkan di pantu asuhan atau dibiarkan jadi kucing jalanan. Kami tak peduli.
Nah, sekitar awal Februari lalu, ia hamil kedua. Kami memperhatikan benar perubahan besar perutnya dari minggu ke minggu. Bisa jadi karena kali ini si jantan yang menghamilinya menawarkan komitmen atau bisa juga karena ia merasa tobat dan ingin membina bahtera keluarga, saya kurang tahu pasti. Tapi di hamil yang kedua ini saya tahu benar ketika ia sudah mau melahirkan, ia sering menyusup ke dalam rumah dengan bunyi nafas yang besar dan seperti sibuk mencari tempat untuk melahirkan. Dari mulai kolong tempat tidur hingga lemari baju pernah dikunjungi. Sayang, kami terlanjur memegokinya, lalu menyeretnya keluar. Hehe.
Singkat cerita lahirlah lima kucing dari perutnya. Entah ia melalukannya di mana, yang jelas di suatu kali saya melihat bayi-bayinya itu. Merasa sebagai manusia, kami pun kembali menyediakan kerdus beralas lap untuk dia menampung si bayi.
Tapi ternyata itu tidak cukup. Berbeda dengan saat pertama, kali ini ia terlihat sangat protektif sama bayi-bayinya. Ia terlihat gelisah dan risau, hipotesis saya adalah ia merasa terancam dengan kucing-kucing jantan yang ingin menyantapnya. Jahat betul ya kucing jantan itu. Tega-teganya makan bayi yang satu spesies. Robot gedek!
Setelah itu, tiap kali menyusup ke rumah yang dicarinya bukan lagi makanan tetapi tempat yang aman untuk bayi-bayinya. Pengalaman itu pun membuat ia semakin hapal denah rumah kami. Pertama ia memilih kolong kasur kamar tamu. Hebat, ia bisa tahu kamar yang jarang dihuni, sehingga nggak ketahuan. Padahal kamar itu ada di ujung lantai dua, loh.
Kakak saya yang merasa geli (untuk tidak menyebut jijik) dengan bayi kucing itu kerap teriak tiap kali memergoki si kucing sedang menggotong anaknya dimulutnya. Operasi pemindahan pun gagal. Melalui embak saya, tiga bayi yang sudah berhasil diangkut ke kamar tamu pun diamankan. Kami berinisiatif untuk menyediakan tempat di balkon atas karena merasa aman dari kucing-kucing lain. Sejak itu kami selalu mempersilakan si kucing untuk masuk untuk menyusui anak-anaknya. Jendela kami buka sedikit agar ia bisa masuk.
Tapi ternyata kucing-kucing predator masih bisa naik dan mencoba menerkam. Sungguh terharu saya saat melihat si kucing tetap tidak mau melepaskan anak-anaknya yang sedang menyusui sementara kucing jantan menerkam. Perlawanan yang ia lakukan ialah mengeong dengan keras tanpa merubah posisinya. Tapi karena eoangan itu, saya pun terpanggil untuk membantu. Tak perlu aksi banyak, kucing jahat itu pun langsung perlu ketika saya membuka pintu.
Pulang-Pergi Serang Jakarta demi Kucing
Tanpa disangka, setelah kejadian itu, si kucing pun memindahkan lagi kelima anaknya dari mulai ke garasi kembali ke halaman hingga yang terakhir ke tempat jemuran di atas. Nah disinilah klimaks dari kisah pindah-pindahan itu. Suatu kali Ayah saya pergi ke Serang menggunakan mobil. Sesampainya di sana, terdengar ada bunyi cicit.. ciciiit. ciciit dari dalam mesin mobil. Yaaaak. kelima anak kucing itu ada di dalam rangka mobil. Gilak!
Saat Ayah mengabari via telpon, kami semua mengira kondisi bayi kucing itu pasti sudah tidak sempurna, mengingat hawa mesin mobil itu kan panas banget, apalagi di situ kan banyak motornya, bisa saja mereka tergiling atau semacamnya. Ajaibnya, kelima bayi itu selamat sentosa. Entah bagaimana ceritanya. Merasa iba, Ayah saya pun menyempatkan diri untuk kembali ke Jakarta membawa anak-anak kucing itu.
Lalu untuk mempersingkat (sedikit) waktu perjalanan, Ayah memerintahkan saya untuk menjemput kucing-kucing itu di tepi jalan Tol (ada aksesnya dari rumah saya). Oke, saya pun menjemputnya pakai motor. Ketebak dong gimana repotnya membawa lima anak kucil dengan motor? haha. Walau sudah dimasukkan ke dalam dus sepatu dan saya taruh di bagian leher motor (motor matic) ternyata mereka tetap tidak bisa diam. Sesekali kepalanya keluar. Sungguh perjalanan yang mendebarkan. Fiuh..
Tapi, setelah sampai di rumah, ada kepuasan besar yang saya rasakan ketika saya membuka kerdus itu di hadapan si ibu kucing. \”Nih, Cing anak-anak lu. Nggak nyariin emang?!\” ungkap saya. Tanpa menggubris perkataan saya ibu kucing langsung menyergap kardus itu dan masuk ke dalamnya lalu melingkarkan tubuhnya. Bayi-bayi itu pun langsung menyerang susu ibunya. Sungguh mengharukan..
Setelah itu pun tempat jemuran kami didaulat sebagai markas teraman mereka. Sekitar sebulan mereka berada tumbuh di situ. Saat pertama dipindahkan mereka masih sangat kecil, tapi saat saya iseng berkunjung tiga minggu setelahnya mereka sedang asik bermain, berlari-lari saling menimpa dan memukul. Haha.
Merasa sudah cukup dewasa, si Ibu pun kembali menurunkan mereka ke luar rumah. Pelan-pelan mereka pun di sapih alias tidak menyusui. Kini, tinggal satu anaknya yang masih tinggal bersama si Ibu, sementara sisanya sepertinya sudah merantau mengadu nasib.
Hingga kini kucing itu masih tinggal di halaman rumah. Dia selalu menjadi yang pertama menyambut saya ketika saya membuka pagar sepulang berkegiatan di malam hari. Menemani hingga pintu dibukakan dan ikut masuk mengawal. Berbeda dengan dahulu, sekarang saya merasa wajib untuk menyisihkan makanan untuk si kucing itu, apalagi saat ia masih menyusui anaknya. Ketika ia tiba-tiba menyusup ke kamar saya lewat jendela pun tidak lagi langsung saya usir, saya biarkan ia mampir sejenak. Hehe
Ternyata benar kata Lodar, memelihara binatang membuat kita belajar tanggung jawab. Lebih dari itu, melihat bagaimana si ibu kucing itu berkorban untuk melindungi dan merawat anak-anaknya saya jadi terbayang bagaimana rasanya jadi orangtua nanti. Haha.
Betapa binatang pun bisa memberi kita pelajaran kemanusiaan. Ah, kucing(ta) kau!
*foto yang di atas itu bukan kucing yang saya ceritain di sini. Itu cuma foto ilustrasi aja. itu adalah kucing liar yang sempat tinggal di halaman rumah sebelum si ibu kucing ini. Nah, kalau foto si kucing-kucing dalam cerita adalah ini
Menyukai ini:
Suka Memuat…
Tinggalkan Balasan