Setiap ada kawan yang mengeluh dan bercerita tentang pengalaman orang atau pengalaman dia dalam pengerjaan skripsi yang bikin stress saya selalu nggak mau percaya, bagi saya dia terlalu berlebihan, dan dia udah teracuni stigmanya oleh pendapat orang-orang. Selain itu, saya juga menanam persepsi bahwa pengerjaan skripsi itu nggak semestinya menyita seluruh keseharian kita. Jadi kita bisa melakukan aktivitas (bekerja, berkarya, atau berorganisasi) beriringan dengan skripsi.
Seperti yang kalian duga, semua yang saya sebutkan diatas udah tinggal jadi omongan. Sugesti yang saya tanam, tumbuh berkembang menyimpang. Tak ada satu pun gen keyakinan dan keberanian yang menurun pada buahnya. Saya terbukti gagal, memasuki bulan ke-empat pengerjaannya, skripsi saya belum rampung juga. Masih aja berkutat di situ-situ aja. Target lulus di Februari ini pun harus mengalami nasib yang sama dengan target lulus di November tahun kemarin. Memalukan.
Apa ini karna saya idealis? Kayaknya nggak deh. Saya selalu nurut apa kata dosen, metode yang saya pilih pun bukan metode yang ditakuti. Penelitian yang saya ajukan sebenernya simpel dan nggak kritis-kritis amat, saya tertarik untuk meneliti sebuah majalah fotografi yang tidak mainstream, majalah yang selalu mengkritisi sikap para fotografer Indonesia dan mengajarkan bagaimana menjadi fotografer yang ideal. Saya tertarik dengan perbedaan kontennya itu dan saya ingin mengetahui lebih dalam tentang orang-orang yang ada dibalik itu, saya meneliti latar belakang serta perspektif dia dalam memandang fotografer Indonesia. That’s it, sederhana kan. Tapi kenapa oh kenapa perjalanan yang dekat jaraknya nih harus menempuh jalan yang berputar-putar. ‘angkot’ yang saya tumpangi selalu membawa saya bersafari menuju dunianya, berhenti dan jalan sesuka hati dan kadang dua-tiga minggu sekali baru jalan dan itu pun selalu lupa dengan tujuan saya bahkan memaksa saya mencoba ‘metode-metode’ baru, katanya sih lebih jalan pintas. Dua supir ternyata nggak mempersingkat durasi, kadang mereka diam-diam berselisih. Sialnya, lama perjalanan mengharuskan membayar ‘ongkos’ sebesar enam ratus ribu sekali lagi. Oh andai bisa semua ini saya tempuh sendiri.
Yah, sekarang saya cuma bisa mencari sesuatu yang bisa disyukuri dari semua ini, membuat skripsi ini menjadi seperti ayam goreng skripsi eh crispy. Apa yang saya udah mulai ini nggak bisa saya sudahi begitu saja, apalagi banyak orang yang udah nungguin saya di garis akhir. lagi pula semua kegalauan dan kebuntuan ini bukan suatu akhir, saya sadar saya masih dalam suatu proses, banyak kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.
Tinggalkan Balasan